Raja Ampat - West Papua #Indonesia

"Raja Ampat, Jantung Segitiga Karang Dunia...". Itulah julukan khas Kabupaten yang berpenduduk kurang lebih 31.000 jiwa ini. Raja Ampat memiliki 610 pulau (hanya 35 pulau yang dihuni) dengan luas wilayah sekitar 46.000 km2, namun hanya 6.000 km2 berupa daratan, 40.000 km2 lagi lautan. Pulau-pulau yang belum terjamah dan lautnya yang masih asri membuat wisatawan langsung terpikat dengan panorama alamnya, tidak terkecuali juga dengan saya.

Cerita ini berawal ketika saya kebetulan ditugaskan oleh kantor tempat saya bekerja untuk memeriksa, melakukan penyetingan alat, sekaligus mengontrol para pekerja kantor kami yg ditugaskan di Kota Sorong, Provinsi Papua Barat. Pada awalnya tak pernah terbelesit sekalipun dalam benak saya bahwa saya akan menginjakan kaki di Tanah Papua. Terlebih pengetahuan saya akan Tanah Papua ini sangatlah minim sekali. Jangankan tentang Kabupaten Raja Ampat, hanya sekedar membedakan Provinsi Papua dengan Papua Barat saja, saya tidak mampu. Selain itu, ini juga merupakan perjalan untuk pertama kalinya bagi saya keluar dari Pulau Jawa.

Setelah mendapat kepastian dari atasan saya tentang keberangkatan saya menuju Sorong, maka saya mulai mencari-cari informasi mengenai Kota Sorong dan Provinsi Papua Barat di internet. Namun sampai tiba di hari keberangkatan pun, saya masih belum menyadari bahwa Kabupaten Raja Ampat itu terletak di Provinsi Papua Barat. Karena memang saya hanya fokus mencari semua informasi tentang Kota Sorong.

Singkat cerita setelah saya mengurus segala sesuatunya, maka tepat pada hari Selasa 23 Agustus 2011 sekitar pukul 21.00 WIB, perjalanan awal yang mampu merubah cara pandang saya tentang kehidupan ini pun dimulai. Dengan menaiki Bus Damri dari Pasar Minggu dengan tujuan Bandara Soekarno-Hatta, saya tiba di bandara sekitar pukul 21.41 WIB. Terlalu awal memang, mengingat jadwal penerbangan saya waktu itu adalah sekitar pukul 1.00 WIB dini hari. Namun daripada saya beresiko ketinggalan pesawat karena ketiduran, jadi lebih baik saya berada di bandara lebih awal dari jadwal penerbangan. Karena memang kebetulan pada saat itu juga, saya sebagai seorang Umat Muslim sedang menghadapi Bulan Ramadhan. Selain agar tidak beresiko ketinggalan pesawat, saya juga memang berencana untuk makan sahur terlebih dahulu di bandara. Dan jujur saja, penerbangan ini juga yang menjadi “first flight” dalam kehidupan saya. Maklum saja, seperti kebanyakan orang yang baru pertama kali merasakan naik pesawat terbang, jadi berbagai macam perasaan yang sama pun seolah-olah berdatangan juga dalam pikiran saya. Terlebih waktu itu adalah Bulan Puasa.

Tidak terasa, setelah beberapa lama menghabiskan waktu di bandara, akhirnya panggilan bagi para penumpang penerbangan tujuan Sorong pun terdengar. Setelah mengantri dengan sabar, melewati segala proses tata cara untuk menaiki pesawat, dan setelah semua penumpang sudah duduk rapi di pesawat, maka pesawat pun tinggal landas sekitar pukul 1.30 WIB dini hari. Penerbangan ini tidak langsung terbang dari Jakarta menuju Sorong, akan tetapi transit terlebih dahulu di Bandara Sultan Hasanudin, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Perjalanan Jakarta menuju Makasar itu sendiri ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam. Waktu transit di Bandara Sultan Hasanudin ini terbilang tidak begitu lama, sekitar kurang dari 30 menit saja, perjalanan pun sudah dilanjutkan kembali. Perjalanan Makasar menuju Sorong ditempuh sekitar 2 jam juga, sehingga sudah seharusnya saya tiba di Kota Sorong kurang lebih sekitar pukul 6 pagi. Dan jam tangan yang melingkar di tangan kanan saya pun menunjukan hal yang sama dengan pikiran saya yaitu sekitar pukul 6.20 WIB. Tapi saya kaget ketika melihat kearah jendela pesawat yang sudah mulai melakukan pendaratan di Bandara Domine Eduard Osok Sorong tersebut, karena keadaan disana sama sekali tidak menunjukan tanda-tanda bahwa saat itu masih sekitar jam 6.00 WIB pagi, dimana aktifitas orang-orang belum terlihat begitu ramai, dan matahari pun belum terlihat utuh. Tetapi justru malah memperlihatkan tanda-tanda sebaliknya, saya melihat disini sudah banyak orang yang berhilir-mudik untuk beraktifitas, dan matahari pun sudah terlihat dengan jelas. Setelah keluar dari pesawat dan masuk ke dalam bandara, hal pertama yang saya lakukan adalah melihat jam dinding yang ada di Bandara Domine Eduard Osok ini. Rasa kaget pun bertambah ketika saya melihat jam dinding tersebut. Ternyata jam itu menunjukan sekitar pukul 8.20 WIT pagi, bukannya jam 6.00 WIB pagi seperti yang saya harapkan. Namun setelah beberapa saat, ternyata saya baru ingat bahwa perbedaan waktu antara Jakarta dan Sorong adalah 2 jam lebih cepat untuk Kota Sorong, karena Sorong merupakan kota yang termasuk kedalam wilayah Waktu Indonesia Timur (WIT). Kejadian di bandara ini terdengar konyol memang, tetapi terkadang hal-hal kecil seperti itulah yang justru membuat saya sering tersenyum sendiri jika suatu saat saya kembali mengingatnya.

Ada semacam kesan pertama yang terlintas di benak saya ketika melihat Bandara Domine Eduard Osok ini. Ternyata bandara ini sangat jauh dari kesan nyaman. Bandara ini justru malah terlihat lebih mirip seperti sebuah terminal-terminal bus yang ada di Pulau Jawa. Padahal dari beberapa media yang saya baca, Bandara ini menghabiskan anggaran yang lumayan fantastis dalam pembangunannya. Tidak hanya itu, calo-calo tiket di bandara ini pun dengan sangat mudah bisa kita temukan. Dan bahkan belakangan saya ketahui bahwa Walikota Sorong yang menjabat saat bandara ini dibangun ternyata tersangkut masalah korupsi dalam pembangunan Bandara Domine Eduard Osok ini. Sebuah fakta yang cukup ironis memang. Tapi ya sudahlah, bukan berarti saya tidak peduli juga, akan tetapi disini saya tidak ingin berbicara mengenai masalah korupsi.

Kembali ke dalam cerita. Setelah puas melihat-lihat keadaan bandara dan sekitarnya, saya memutuskan untuk tidak berlama-lama lagi berada di sana. Saya mulai mencari angkutan untuk menuju ke hotel yang telah saya pesan sebelumnya. Tidak ada taksi resmi disana, yang ada hanya taksi-taksi gelap dengan unit kendaraan bertipe minibus, dan dengan tarif yang cukup mahal jika dibandingkan dengan taksi-taksi yang ada di Pulau Jawa.

Tidak banyak cerita mengenai kegiatan saya selama menginap di hotel, terhitung beberapa hari dari kedatangan saya ke Kota Sorong ini. Saya hanya berangkat pagi dari hotel tempat menginap, kemudian bertemu dengan orang-orang dari pemerintahan kota setempat, untuk melakukan koordinasi dalam menjalankan pekerjaan saya di Kota Sorong tersebut. Karena memang untuk alasan itulah kenapa kantor tempat saya bekerja menugaskan saya untuk pergi ke Sorong. Namun satu hal yang menjadi kesan bagi saya saat melihat keadaan Kota Sorong. Jangan berpikir karena daerah ini memiliki predikat nama kota, terus anda berpikir bahwa Kota Sorong itu sama keadaannya seperti kota-kota lainnya yang ada di Indonesia, misalnya: Kota Medan, Surabaya, Bandung atau kota-kota yang lainya. Tapi justru keadaannya sangat jauh berbeda dengan kebanyakan kota-kota yang ada di Pulau Jawa, Pulau Sumatra, atau di Pulau Bali. Kasarnya Kota Sorong ini kalau dibandingkan dengan salah satu kabupaten kecil yang terletak di Pulau Jawa saja, masih tetap kalah suasana hiruk-pikuknya dengan kabupaten kecil tersebut. Suasana nya terbilang sepi, terlebih lagi ditambah belum lengkapnya infrastruktur yang terbangun di dalam Kota Sorong tersebut, terutama jalan yang menghubungkan dengan kota atau kabupaten lainnya yang sama-sama masih berada dalam satu kawasan Provinsi Papua Barat tersebut.

Singkat cerita, sampailah pada suatu saat dimana saya memang diharuskan oleh pekerjaan ini untuk mengunjungi salah satu kecamatan yang letaknya memang terpisah dari Pulau Papua itu sendiri. Nama kecamatan tersebut adalah Sorong Kepulauan, karena memang terletak di sebuah pulau yang cukup kecil di luar Kota Sorong itu sendiri. Dan sudah bisa dipastikan bahwa akses menuju kesana adalah dengan menggunakan perahu kayu. Karena pelabuhan yg ada disana merupakan pelabuhan kecil yang hanya mampu menampung perahu-perahu kayu sederhana yang berukuran kecil.

JR
Saya pun mulai memulai perjalanan ini dengan menaiki perahu kayu untuk menuju lokasi tersebut. Dan sepanjang perjalalan, mata saya disuguhi dengan berbagai panorama lautan yang bersih dengan hiasan pulau-pulau kecil tak berpenghuni yang cukup membuat mata saya sedikit tidak berkedip. Perjalanan ini tidak begitu lama, karena memang jarak nya yang tidak terlalu jauh. Hanya sekitar 45 menit saja, saya sudah sampai di dermaga kecil Sorong Kepulauan. Entah ada keanehan apa dengan diri saya, yang pasti setiba di pulau tersebut, secara serentak mata dari para warga setempat mengarah kepada saya. Saya pun sempat merasa kurang nyaman dalam beberapa saat. Dan setelah saya sadari pada saat itu, ternyata saya adalah satu-satunya orang yg memiliki warna kulit yang cukup terang disana. Maka wajar saja kalau saya mendapatkan perlakuan seperti itu. Namun hal itu tidak berlangsung lama, karena para warga disana melanjutkan tatapannya dengan senyuman yang cukup manis. Malah selama saya berjalan kaki dari pelabuhan menuju kantor kecamatan, beberapa warga yang sedang memanjat pohon kelapa sempat menawarkan kelapa muda nya kepada saya. Dan ada beberpa anak kecil yang terus-terusan mengikuti saya. Sambil tersenyum mereka berlari-lari kearah saya, sehingga saya merasa seolah-olah saya itu seorang artis yang sedang masuk kampung. Anak-anak kecil itu rata-rata hanya berpakaian seadanya saja. Hanya memakai celana saja tanpa memakai atasan kaos ataupun kemeja. Dan sudah barang tentu saya tidak melihat satupun dari mereka yang memakai alas kaki. Dengan rambut mereka yang kriting gimbal, kulit hitam legam yang identik dengan kotor, serta bau amis tidak sedap yang selalu keluar dari tubuh mereka, maka wajar bila pada awalnya saya merasa sangat tidak nyaman sekali ketika berada di tengah-tengah mereka. Terlebih saya belum pernah sekalipun bertemu dengan anak kecil yang keadannya seperti itu selama saya tinggal di daerah Jawa Barat. Tetapi ternyata dari mereka inilah saya justru mampu mempelajari arti sesungguhnya dari sebuah makna “Bhineka Tunggal Ika” yang menjadi semboyan Negara Indonesia tercinta ini. Dan dari mereka juga, saya jadi lebih mengerti lagi akan sebuah arti dari kata perbedaan.

Setelah saya berpikir sesaat dan menyadari akan hal itu, maka saya memberanikan diri menangkap salah satu dari anak kecil tersebut, untuk kemudian dengan tanpa ragu lagi saya pun mulai menggendongnya. Dan benar ternyata dugaan saya, anak tersebut merasa sangat senang sekali ketika saya mulai menggendongnya. Terlebih respon dari orang-orang sekitar saya yang menyaksikan kejadian tersebut. Senyuman manis sangat jelas terpancar dari wajah mereka. Sehingga secara tidak langsung rasa simpati mereka terhadap diri saya semakin meningkat. Keramah-tamahan warga sekitar pun berlanjut. Terbukti ketika saya berada di kantor kecamatan untuk mulai menyelesaikan pekerjaan saya di sana, mereka berbondong-bondong dengan sukarela membantu saya. Karena memang pekerjaan saya disana selain mengandalkan pikiran, tapi juga memang membutuhkan tenaga.

Selesai dengan apa yang saya harus kerjakan di kantor kecamatan tersebut, saya pun beristirahat dengan duduk di sebuah warung kecil di tepi pantai dekat pelabuhan. Sambil menikmati secangkir kopi, saya mulai berbincang-bincang dengan para penduduk setempat yang memang kebetulan sedang berada juga di warung kecil tersebut. Dan tanpa disengaja, saya mendengar kata Raja Ampat yang sempat di ucapkan oleh salah satu pria setengah baya yang duduk di sebelah kanan saya. Saya pun makin tertarik dengan tema perbincangan tersebut. Dan dari perbincangan di warung inilah, saya mulai tahu bahwa ternyata Kabupaten Raja Ampat terletak tidak jauh dari Sorong. Dan dapat diakses dengan mudah lewat jalur laut.

Berbekal dari perbincangan di warung itulah, sepulang dari tempat tersebut, saya mulai mencari tahu lagi informasi tentang Raja Ampat. Hingga sampai pada saat dimana saya memang sudah benar-benar mantap untuk memutuskan pergi ke Raja Ampat. Karena mengingat semua kewajiban dan tanggung jawab masalah pekerjaan saya di Kota Sorong sudah benar-benar beres sepenuhnya. Maka tepat pada hari jumat siang, kira-kira setelah selesai melaksanakan ibadah sholat jumat, saya mulai menuju ke sebuah pelabuhan di Kota Sorong. Nama pelabuhan tersebut adalah Pelabuhan Rakyat. Karena bedasarkan informasi yang saya dapat, kapal fery yang menuju ke Kepulauan Raja Ampat akan berangkat pada jumat siang sekitar pukul 13.00 WIT. Ternyata informasi yang saya dapat, benar adanya. Setiba di Pelabuhan Rakyat tersebut, sebuah kapal fery berukuran sedang sudah berlabuh disana dan siap untuk berangkat. Kapal fery tersebut disebut kapal cepat oleh penduduk sekitar, karena untuk sampai di Raja Ampat, fery tersebut hanya membutuhkan waktu tempuh sekitar 2 jam saja. Dan ternyata bukan hanya ada satu fery saja yang berangkat. Fery dengan ukuran yang jauh lebih besar sudah siap berangkat juga. Akan tetapi jadwal keberangkatan fery tersebut sekitar pukul 14.00 WIT, atau dengan kata lain fery tersebut baru akan berangkat setelah satu jam dari keberangkatan fery cepat. Dan jarak tempuh yang dibutuhkan oleh fery besar tersebut lebih lama jika dibandingkan dengan fery cepat. Fery besar bisa memakan waktu sekitar 4-5 jam untuk sampai di Raja Ampat. Tanpa berlama-lama lagi saya pun mulai membeli tiket dan segera bergegas naik ke dalam kapal fery tersebut. Dan fery yang menjadi pilihan saya adalah fery cepat...(to be continue)


Share on Google Plus

About Adang Sutrisna

An ordinary husband and father who was born at eastern small town of West Java. Working for the State Owned Company in Indonesia, loving outdoors activity and adventure addict. Part time wanderer with amateur experience, but full time dreamer with no limit to break the horizon as the destination...