Perang Bubat Dalam Perspektif Keturunan Berdarah Campuran



Jika kita mencoba menelusuri dengan kata kunci “Perang Bubat” di halaman Google, maka dengan sangat mudah kita bisa menemukan berbagai macam situs/blog atau halaman informasi lainnya yang menyajikan informasi mengenai terjadinya peristiwa tesebut. Baik informasi-informasi yang bisa menjadi rujukan bagi Masyarakat Jawa ataupun yang lebih cenderung terfokus kepada informasi bagi Masyarakat Sunda, karena dalam peristiwa ini dua etnis inilah yang menjadi objek utama dan saling berhadapan. Dan tentunya keberadaan informasi dalam situs/blog tersebut sudah didasari oleh literatur yang menurut mereka cukup layak untuk dipercaya. Masing-masing memiliki argumen tersendiri untuk memperkuat pendapatnya, dan terkadang tidak sedikit juga dari mereka yang sering terlibat pertikaian SARA karena masing-masing pihak tetap yakin dengan pendapatnya.

Mengingat paradigma ini cukup melekat dengan masyarakat kedua suku ini, dan bahkan pada kenyataannya peristiwa ini selalu diceritakan dari mulut ke mulut secara turun temurun, maka tak heran jika peristiwa ini tidak pernah luput dari ingatan para keturunan kedua belah pihak, tumbuh berkembang mendarah daging di kalangan masyarakat Jawa & Sunda.

Akan tetapi bagaimana jadinya “Perang Bubat” itu sendiri jika dilihat dari sudut pandang seorang keturunan berdarah campuran seperti halnya penulis, yang terlahir dari perpaduan antara seorang ayah yang berasal dari tempat lahirnya Kerajaan Singhasari, dengan ibu yang berasal dari daerah yang menjadi Puseur Budaya Sunda (Pusat Budaya Sunda). 


Oleh karena itu penulis akan mencoba memberikan sebuah perspektif lain dari peristiwa “Perang Bubat” ini. Karena berdasarkan pengamatan penulis, baik Suku Jawa ataupun Suku Sunda cenderung mennggunakan literatur hanya berdasarkan dari salah satu naskah/kitab warisan sejarah yang lebih bercerita tentang kepada suku nya masing-masing, tanpa mau mencoba membaca, menelaah, dan atau mencari literatur dari sumber sejarah lain. 


Sekilas Tentang Perang Bubat

Perang Bubat adalah perang yang diceritakan pernah terjadi pada masa pemerintahan Raja Majapahit ke empat (Raja Hayam Wuruk) dengan mahapatihnya Gajah Mada. Perang ini melibatkan sejumlah besar pasukan Kerajaan Majapahit pimpinan Mahapatih Gajah Mada melawan sekelompok kecil pasukan Kerajaan Sunda (Galuh) pimpinan Prabu Maharaja Linggabuana, di Desa Pelabuhan Bubat, Jawa Timur pada abad ke-14 pada sekitar tahun 1357 M.

Pertempuran yang sangat tidak seimbang tersebut dikisahkan dapat dimenangkan secara mutlak oleh pihak Majapahit. Pasukan Kerajaan Sunda dibantai habis termasuk pimpinannya yang juga merupakan Raja Kerajaan Sunda (Galuh), Prabu Maharaja Linggabuana. Dan tidak hanya itu, Permaisuri dan Putri Raja Sunda bernama Dyah Pitaloka Citraresmi yang sedianya akan dinikahkan dengan Raja Hayam Wuruk ikut tewas dengan cara bunuh diri setelah meratapi mayat ayahnya.

Diceritakan bahwa timbulnya perang ini akibat kesalahpahaman Patih Gajah Mada saat melihat Raja Sunda (Galuh) datang ke Bubat beserta Permaisuri dan Putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit Prajurit Sunda. Gajah Mada menganggap bahwa kedatangan rombongan Kerajaan Sunda (Galuh) di Pelabuhan Bubat sebagai bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda (Galuh) kepada Majapahit. Hal ini menimbulkan perselisihan antara utusan Prabu Linggabuana dengan Gajah Mada, dan memuncak hingga terjadi perang terbuka.


Sumber Literatur/Pustaka
Sebelum lebih jauh membahasnya, penulis akan memberikan beberapa literatur/pustaka yang sering digunakan oleh kebanyakan penulis situ/blog sebagai bahan referensi dalam menulis artikel atau informasi mengenai “Perang Bubat” ini.

1. Kidung Sunda
Kidung Sunda ditemukan oleh pakar sejarah Belanda bernama Prof. Dr. C.C. Berg pada awal tahun 1920 an, beberapa versi Kidung Sunda, diantaranya Kidung Sundayana, yang merupakan versi sederhana dari versi aslinya. Sarjana belanda itu kemudian menuliskan penemuannya tersebut dalam kedua bukunya, yaitu : C.C. Berg, 1927, Kidung Sunda. Inleiding, tekst, vertaling en aanteekeningen. BKI 83: 1 - 161. dan C.C. Berg, 1928, Inleiding tot de studie van het Oud-Javaansch (Kidung Sundāyana). Soerakarta: De Bliksem.

Kidung Sunda adalah sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa Pertengahan berbentuk tembang (syair) dan naskahnya ditemukan di Bali. Dalam kidung ini dikisahkan Prabu Hayam Wuruk dari Majapahit yang ingin mencari seorang permaisuri, kemudian dia menginginkan Putri Sunda yang dalam cerita ini tidak disebutkan namanya. Namun Patih Gajah Mada tidak suka karena Orang Sunda dianggapnya harus tunduk kepada orang Majapahit. Kemudian terjadi pertempuran yang tidak seimbang antara rombongan Pengantin Sunda dengan Prajurit Majapahit di pelabuhan tempat berlabuhnya Rombongan Sunda. Dalam pertempuran yang tidak seimbang ini rombongan Kerajaan Sunda dibantai dan Putri Sunda yang merasa pilu akhirnya bunuh diri.

Analisa :
Perlu dikemukakan bahwa sang penulis cerita Kidung Sunda ini lebih cenderung berpihak kepada Orang Sunda, dan seringkali isinya bertentangan dengan sumber-sumber sejarah lainnya. Seperti tentang wafatnya Prabu Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, penulisannya sangat jauh berbeda dengan penulisan kisah dalam Naskah Nagarakertagama, yang merupakan literatur dengan tarikh lebih tua tentang Kerajaan Majapahit. Sang penulis Negarakertagama dengan jelas dapat di identifikasi yaitu Mpu Prapanca bertarikh 1365 M, atau dengan kata lain Mpu Prapanca merupakan saksi hidup dari keberlangsungan Kerajaan Majapahit pada abad ke-13.


Berbeda dengan Kidung Sunda (Sundayana) yang sampai saat ini penulis belum pernah menemukan siapakah yang menulis kitab/naskah tersebut. Dalam hal ini penulis hanya menemukan siapa saja yang pertama kali menterjemahkan sekaligus mempublikasikan kitab/naskah tersebut. Semuanya adalah para ahli dan atau Sejarawan Kolonial (Belanda). Dan yang lebih mengherankan lagi, hingga sekarang masih sulit untuk menemukan keberadaan naskah asli dari kitab tersebut, yang ada hanyalah berupa terjemahan-terjemahannya saja, yang bisa dengan mudah dimanipulasi demi suatu kepentingan tertentu.

Kemudian ada sebuah hal yang menarik, tampaknya dalam Kidung Sunda, nama raja, ratu dan putri Sunda yang terlibat dalam peristiwa tersebut tidak pernah disebutkan secara jelas. Kebanyakan para pemberi informasi mencari sumber lain dan mengutip dari Kitab/Naskah Carita Parahyangan perihal nama-nama dari peristiwa tersebut.

2. Kitab Pararaton
Serat Pararaton, atau Pararaton saja (bahasa Kawi: "Kitab Raja-Raja"), adalah sebuah kitab naskah Sastra Jawa Pertengahan yang digubah dalam bahasa Jawa Kawi. Naskah ini cukup singkat, berupa 32 halaman seukuran folio yang terdiri dari 1126 baris. Isinya adalah sejarah raja-raja Singhasari dan Majapahit di Jawa Timur. Kitab ini juga dikenal dengan nama "Pustaka Raja", yang dalam bahasa Sanskerta juga berarti "kitab raja-raja".

Penekanan atas pentingnya kisah Ken Arok bukan saja dinyatakan melalui panjangnya cerita, melainkan juga melalui judul alternatif yang ditawarkan dalam naskah ini, yaitu: "Serat Pararaton atawa Katuturanira Ken Angrok", atau "Kitab Raja-Raja atau Cerita Mengenai Ken Angrok". Mengingat tarikh yang tertua yang terdapat pada lembaran-lembaran naskah adalah 1522 Saka (atau 1600 Masehi), diperkirakan bahwa bagian terakhir dari teks naskah telah dituliskan antara tahun 1481 dan 1600, di mana kemungkinan besar lebih mendekati tahun pertama daripada tahun kedua. Naskah ini diterjemahkan oleh JLA Brandes pada tahun 1897 M dalam sebuah bukunya yang berjudul “Pararaton (Ken Arok) of het boek der Koningen van Tumapěl en van Majapahit. Uitgegeven en toegelicht. Batavia: Albrecht's Hage: Nijhoff. VBG 49.1."

Analisa :
Haruslah dicatat bahwa naskah tersebut ditulis dalam pemahaman kerajaan Masyarakat Jawa. Bagi Masyarakat Jawa, merupakan fungsi seorang raja untuk menghubungkan masa kini dengan masa lalu dan masa depan serta menetapkan kehidupan manusia pada tempatnya yang tepat dalam tata aturan kosmis. Raja melambangkan lingkup kekuasaan Jawa, pengejawantahan suci dari negara secara keseluruhan, sebagaimana istananya yang dianggap mikrokosmos dari keadaan makrokosmos. Seorang raja (dan pendiri suatu dinasti) dianggap memiliki derajat kedewaan, di mana kedudukannya jauh lebih tinggi daripada orang biasa.

Beberapa bagian Pararaton tidak dapat dianggap merupakan fakta-fakta sejarah. Terutama pada bagian awal, antara fakta dan fiksi serta khayalan dan kenyataan saling berbaur menjadi satu.

Sama halnya seperti Kidung Sunda, hingga saat ini penulis belum pernah menemukan siapakah yang menulis Kitab Pararton tersebut. Dalam hal ini penulis hanya menemukan siapa saja yang pertama kali menterjemahkan sekaligus mempublikasikan kedua kitab tersebut. Semuanya adalah para ahli dan atau Sejarawan Kolonial (Belanda). Dan yang lebih mengherankan lagi, hingga sekarang masih sulit untuk menemukan keberadaan naskah asli dari kitab tersebut, yang ada hanyalah berupa terjemahan-terjemahannya saja, yang bisa dengan mudah dimanipulasi demi suatu kepentingan tertentu.

3. Carita Parahyangan
Carita Parahiyangan merupakan nama suatu naskah Sunda Kuno yang dibuat pada akhir abad ke-16, yang menceritakan sejarah Tanah Sunda, utamanya mengenai kekuasaan di dua ibukota Kerajaan Sunda yaitu Keraton Galuh dan Keraton Pakuan. Naskah ini merupakan bagian dari naskah yang ada pada koleksi Museum Nasional Indonesia Jakarta dengan nomor register Kropak 406. Naskah ini terdiri dari 47 lembar daun lontar ukuran 21 x 3 cm, yang dalam tiap lembarnya diisi tulisan 4 baris. Aksara yang digunakan dalam penulisan naskah ini adalah aksara Sunda. Naskah Carita Parahiyangan menceritakan sejarah Sunda, dari awal kerajaan Galuh pada zaman Wretikandayun sampai runtuhnya Pakuan Pajajaran (Ibukota Kerajaan Sunda) akibat serangan Kesultanan Banten, Cirebon dan Demak.

Analisa :
Untuk pertama kalinya naskah ini diteliti oleh K.F. Holle, kemudian diteruskan oleh C.M. Pleyte. Kemudian naskah ini dialihbahasakan oleh Purbacaraka, sebagai tambahan terhadap laporan mengenai Batu Tulis di Bogor. Upaya ini diteruskan oleh H. Ten Dam (tahun 1957) dan J. Noorduyn (laporan penelitiannya dalam tahun 1962 dan 1965). Selanjutnya naskah ini juga diteliti oleh beberapa sarjana Sunda, di antaranya Ma'mun Atmamiharja, Amir Sutaarga, Aca, Ayatrohaédi, serta Édi S. Ékajati dan Undang A. Darsa

Meskipun naskah asli dari Carita Parahyangan ini bisa kita lihat di Musium Nasional, namun hingga saat ini penulis belum pernah menemukan siapakah yang menulis Carita Parahyangan ini. Dalam hal ini penulis hanya menemukan siapa saja yang pertama kali menterjemahkan sekaligus mempublikasikan ketiga naskah/kitab tersebut.


Kesimpulan
Dari ketiga penjelasan sumber pustaka mengenai terjadinya Perang Bubat diatas, maka dapat kita simpulkan bahwa : 

Pertama : 
Kidung Sunda merupakan salah satu sumber rujukan yang kerap digunakan oleh Orang Sunda dalam meneliti tentang peristiwa Perang Bubat ini. Sedangkan bagi Orang Jawa, Kitab Pararaton merupakan satu-satunya sumber rujukan untuk peristiwa Perang Bubat, karena Perang Bubat tidak diceritakan dalam literatur lainnya terutama dalam Kitab Negarakertagama.

Seperti yang telah penulis jelaskan dalam analisa diatas, kedua naskah/kitab ini berusia relatif sangat muda yaitu sekitar tahun 1500-1700 M, sementara menurut Kitab Negarakertagama Kerajaan Majapahit berakhir pada tahun 1400 Saka (1478 M), yang artinya naskah/kitab ini (Pararaton dan Sundayana) ditulis setelah pengaruh Kolonial (Belanda) telah hadir di Nusantara. Selain itu, nama penulis dan naskah asli dari kedua kitab tersebut sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Berbeda dengan naskah sejarah lainnya yang bisa dengan mudah kita identifikasi penulisnya, contohnya yaitu Naskah Arjunawiwaha (yang menceritakan tentang masa pemerintahan Prabu Airlangga) ditulis oleh Mpu Kanwa dengan tarikh 1030 M, Babad Tanah Jawa yang pertama ditulis oleh Carik Braja atas perintah Sunan Pakubuwono III tahun 1788 M, Babad Tanah Jawa yang kedua ditulis oleh Pangeran Adilangu II dengan naskah tertua bertarikh 1722 M dan lain sebagainya.

Kedua :
Carita Parahyangan merupakan sumber rujukan utama dalam penulisan Sejarah Sunda. Dan cerita mengenai peristiwa Perang Bubat dibahas didalamnya mespikun hanya beberapa baris.

Meskipun pada awal ceritanya naskah ini cukup bisa dipercaya karena sedikit didukung oleh adanya korelasi dengan keberadaan Prasasti Batu Tulis, dan juga keberadaan naskah aslinya pun bisa kita temukan dengan mudah di Museum Nasional, namun kelemahan dari naskah ini adalah berusia relatif muda juga, yaitu sekitar tahun 1600 M, dimana pengaruh Kolonial (Belanda) pada masa itu telah hadir di Bumi Nusantara ini. Dan sampai saat ini nama penulisnya pun belum diketahui secara pasti.

Ketiga :
Sementara bagi Masyarakat Jawa, Kitab Negarakertagama merupakan rujukan utama dalam memaparkan sejarahnya. Dan dalam kitab ini samasekali tidak disebutkan adanya peristiwa Perang Bubat, padahal kitab ini mulai ditulis pada tahun 1365 M, yaitu dimasa Kerajaan Majapahit masih berdiri sampai berakhirnya Kerajaan Majapahit.

Kitab/naskah ini lebih cenderung akurat dan bisa menjadi rujukan utama bagi penulisan sejarah. Selain usianya yang relatif lebih tua dari ketiga naskah diatas (Kidung Sunda, Kitab Pararaton dan Carita Parahyangan), naskah asli dari Negarakertagama bisa kita lihat di Perpustakaan Nasional RI dan diberi kode NB 9. Selain itu kitab atau naskah ini lebih banyak memiliki persamaan cerita dengan naskah-naskah kuno lainnya seperti catatan Perjalanan Kerajaan Tiongkok. Keberadaan prasasti dan candi-candi yang bisa kita lihat sampai hari ini bertebaran di Tanah Jawa pun menjadi dukungan kuat bagi kitab/naskah ini untuk bisa dikategorikan sebagai sumber literatur sejarah yang valid bagi Nusantara.


Akhir kata, ulasan ini hanya merupakan teori dari diri penulis pribadi berdasarkan penelitian singkat mengenai terjadinya Perang Bubat, yang keberadaan ceritanya secara tidak kita sadari dapat menimbulkan perpecahan dalam Negara Kesatuan ini. Untuk itu penulis memohon maaf apabila ada kesalahan penulisan kata yang kurang berkenan. Benar atau tidaknya kita kembalikan lagi kepada keyakinan kita masing-masing, dari sudut pandang mana kita melihatnya. Semoga dengan adanya tulisan ini sedikitnya bisa memberikan sudut pandang lain tentang perumusan sejarah yang selama ini kita coba susun dari puing-puing yang berserakan.


Share on Google Plus

About Adang Sutrisna

An ordinary husband and father who was born at eastern small town of West Java. Working for the State Owned Company in Indonesia, loving outdoors activity and adventure addict. Part time wanderer with amateur experience, but full time dreamer with no limit to break the horizon as the destination...