Dieng, Wonosobo - Central Java #Indonesia


Perjalanan ini berawal ketika saya bersama dengan dua orang teman kerja iseng saling ledek, saling tantang untuk pergi ke suatu tempat tanpa ada perencanaan sebelumnya. Hari itu hari kamis lebih tepatnya, hari dimana kami hanya punya kewajiban satu hari lagi untuk bekerja di minggu tersebut. Setelah puas dengan obrolan kesana-kemari tersebut alhasil terpilihlah Dataran Tinggi Dieng sebagai tujuan pelarian kami. Tanpa panjang lebar, tanpa basa-basi, dan tanpa konfirmasi terlebih dahulu kepada teman-teman saya tersebut, saya langsung membooking 3 tempat duduk di Bis AC Ekonomi jurusan Jakarta - Wonosobo untuk keberangkatan besok hari (Jum’at 23 Desember 2011) dari pool pemberangkatan Pasar Minggu, setelah sebelumnya saya mendapatkan informasi mengenai PO Bis tersebut dari hasil browsing di internet.

Singkat cerita keesokan harinya kami bekerja seperti biasa, namun sudah bisa dipastikan bahwa tas kerja kami sedikit menggelembung karena sudah berisi peralatan yang akan kami butuhkan selama pergi ke sana. Setelah beberapa jam kami bekerja, tanpa terasa jam dinding dikantor pun sudah menunjukan pukul 15.00 WIB. Mengingat jadwal keberangkatan bis yang sudah kami booking tersebut adalah pukul 16.00 WIB, maka dengan menggunakan trik lama, yaitu sebuah trik dimana kami satu per satu menghilang dari ruangan tempat kami bekerja, akhirnya kami bertiga berhasil keluar dari kantor dan bergegas pergi menuju ke Terminal Pasar Minggu.

Setibanya di Terminal Pasar Minggu, kami bertiga langsung menghampiri counter untuk lapor/check in kepada petugas tiket dari PO Bis tersebut. Dan setelah kami bertiga mendapatkan tempat duduk sesuai nomor tiket pesanan, kami bertiga pun menghampiri warung jajanan untuk santai sambil menghabiskan satu hingga dua batang rokok sambil menunggu bis tersebut berangkat. Tak lama setelah itu, teriakan dari sang kondektur bis pun terdengar, dan itu menandakan bahwa bis tersebut akan segera di berangkatkan. Kami pun kembali masuk kedalam bis tersebut dan menduduki tempat duduk kami masing-masing.

Bis pun berangkat, mulai dari tersendat-sendat menyusuri kemacetan jalanan Ibukota sampai bis akhirnya bisa dengan leluasa menancap gas di Jalur Pantura, kami lewati setiap detiknya. Tak banyak cerita yang bisa saya ceritakan ketika kami di bis, selain karena kami semua tertidur lelap, perjalanan menuju Wonosobo ini hanya dihiasi oleh pemandangan di sepanjang Jalur Pantura yang memang sudah biasa kami lalui. Perjalanan Jakarta - Wonosobo menempuh kurang lebih sekitar 12 jam, sehingga tepat pukul 04.00 WIB hari sabtu dini hari, kami sudah tiba di Terminal Wonosobo.

Untuk menuju Dieng dari Terminal Wonosobo kami harus melanjutkan perjalanan dengan menaiki sebuah angkutan umum berjenis minibus atau elf yang akan mulai terlihat beroperasi sekitar jam 05.00 WIB. Sambil menunggu angkutan tersebut, kami sempatkan untuk menunaikan ibadah Sholat Subuh di mushola terminal dan menikmati secangkir kopi di kios terminal yang buka 24 jam.

Dari terminal kami tidak lantas bisa menaiki angkutan menuju Dieng tersebut. Kami diharuskan menaiki angkot terlebih dahulu sampai di Alun-Alun Wonosobo. Setelah beberapa menit kami berdiri di persimpangan Alun-Alun Wonosobo, sekitar pukul 05.30 angkutan yang kami tunggu pun muncul. Tanpa berlama-lama lagi kami bergegas menaiki angkutan tersebut. Perjalanan dari Terminal Wonosobo menuju Dieng memakan waktu kurang lebih sekitar 45 menit. Pemandangan di sepanjang perjalanan dihiasi oleh kabut tebal yang menyelimuti ladang-ladang sayuran milik para petani. Semakin dekat dengan Dieng, cuaca pun terasa semakin dingin.

Sesampainya di Dieng kami sempatkan untuk mencari penginapan terlebih dahulu. Selain untuk mengistirahatkan tubuh sejenak, kami pun berencana untuk mengatur itenary perjalanan terlebih dahulu agar bisa lebih efisien dalam menggunakan waktu. Setelah segala persiapan kami di penginapan selesai, kami mulai menuju destinasi kami yang pertama di Dataran Tinggi Dieng ini. Untuk sarana transportasi selama disana agar lebih mudah dijangkau, kami pun sepakat untuk menyewa ojeg. Di hari pertama kami berhasil mengunjungi beberapa destinasi, diantaranya:

Just three of us at Dieng Plateau Theater
Dieng Plateu Theater
Tempat yang diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 9 April 2006 ini memberikan pengetahuan mengenai Dataran Tinggi Dieng. Dengan membayar tiket sebesar Rp 4.000, setiap pengunjung akan dibawa masuk ke dalam sebuah ruang yang mampu menampung sekitar 100 orang. Di dalam ruang ini, pengunjung akan menyaksikan sebuah film tentang Dataran Tinggi Dieng, mulai dari sejarah, kondisi geografis, budaya, serta hal-hal lain. Selama 23 menit durasi film, pengunjung akan dikenalkan pada Dataran Tinggi Dieng dan masyarakat yang bermukim di kawasan ini. Sehingga, ketika akan berkeliling menikmati pesona alam Dataran Tinggi Dieng serta mengunjungi tempat-tempat wisata yang ada di kawasan ini, pengunjung sudah memiliki bekal pengetahuan. Pengalaman berkunjung yang dilakukan pun akan menjadi lebih berkesan.



Me at Batu Pandang
Batu Pandang Telaga Warna
Batu Pandang di Dataran Tinggi Dieng merujuk pada sebuah bukit yang berada tidak jauh dari kawasan Taman Wisata Telaga Warna. Batu Pandang di Dataran Tinggi Dieng ini memiliki pesona menarik dimana dapat melihat pemandangan Telaga Warna dan Telaga Pengilon secara utuh dari atas ketinggian. Batu Pandang Dieng ada yang menyebutnya dengan nama Bukit Batu Pandang Telaga Warna atau Batu Ratapan Angin merupakan spot dimana pengunjung dapat melihat pemandangan Telaga Warna dan Telaga Pengilon dari atas ketinggian tanpa terhalang apapun.









Hmm, Telaga Warna

Telaga Warna
Pada dasarnya nama Telaga Warna sendiri diberikan karena keunikan fenomena alam yang terjadi di tempat ini, yaitu warna air dari telaga tersebut yang sering berubah-ubah. Terkadang telaga ini berwarna hijau dan kuning atau berwarna warni seperti pelangi. Fenomena ini terjadi karena air telaga mengandung sulfur yang cukup tinggi, sehingga saat sinar Matahari mengenainya, maka warna air telaga nampak berwarna warni.








Komplek Candi Dieng
Komplek Candi Hindu Jawa
Candi-candi Dieng merupakan mahakarya dinasti Sanjaya sebagai candi beraliran hindu tertua di Jawa pada abad ke 8 yang masih tampak gagah di dataran tinggi Dieng. Bangunannya yang berukuran kecil rata-rata 4 m persegi terlihat cantik di tengah-tengah gunung Dieng.  Banyak orang mengatakan candi Dieng itu unik. Bentuknya yang mungil, arsitekturnya sederhana tapi mengena setiap mata saat menatap keindahan warisan Hindu kuno ini. Dulu, hampir sebanyak 400 candi pernah berdiri di tempat yang dijuluki Negeri Para Dewa ini, sehingga kumpulan Candi di Dieng di sebut juga sebagai Komplek Candi Hindu Jawa. Berdasarkan Prasasti yang ditemukan di situs Dieng, Candi-candi tersebut diperkirakan didirikan pada abad ke VIII- abad ke XIII masehi, sebagai wujud kebaktian kepada Dewa Syiwa dan Sakti Syiwa (istri Syiwa). Dilihat lebih dari 21 Bangunan, Candi Dieng terbagi menjadi 6 Kelompok. 5 Kelompok bangunan berupa ceremonial site (tempat pemujaan) yaitu :
  • Kelompok Candi Arjuna (pendawa 5)
  • Kelompok Candi Gatut Kaca
  • Kelompok Candi Bhima
  • Kelompok Candi Dwarawati/Parikesit.
  • Kelompok Candi Magersari.
  • Kelompok Candi Setyaki
Dan Kelompok Keenam adalah bangunan tempat tinggal (setlement site) yang sisa-sisa puingnya masih bisa anda lihat disekitaran komplek Candi Arjuna.

Itulah beberapa destinasi yang berhasil kami kunjungi di hari pertama kedatangan kami di Dieng. Setelah cukup merasa puas di hari pertama, kami langsung menuju penginapan dikarenakan hari pun sudah mulai beranjak gelap. Di malam hari saat di penginapan, kami cukup merasakan ekstremnya cuaca di Dieng, terlebih saat itu Bulan Desember yang merupakan bulan saat musim penghujan, sehingga cukup membuat tubuh kami menggigil kedinginan.

Di hari kedua, tepat pada pukul 04.30 WIB keesokan harinya, kami sudah terbangun dan beranjak pergi dari penginapan untuk berburu sunrise di Bukit Sikunir. Namun karena cuaca yang cukup mendung di pagi itu, sang surya pun enggan menampakan sinarnya. Kami terpaksa kembali ke penginapan dan hanya berjalan-jalan saja di sekitar penginapan sambil menikmati sarapan pagi dan secangkir Kopi Purwaceng yang merupakan minuman tradisional khas dari Dataran Tinggi Dieng. Setelah mempersiapkan segalanya, kami pun segera memulai tour hari kedua dengan sisa-sisa destinasi yang belum kami kunjungi di hari pertama, dinataranya:

Kawah Sileri
Kawah Sileri
Terletak di desa Kepakisan, Batur, Kabupaten Banjarnegara, Sekitar 7 Km dari Kawasan Wisata Dieng Plateau. Kawah Terluas di Dieng ini terhitung masih aktif. Dari permukaan kawah masih terus menerus mengeluarkan asap putih dan menunjukan gejala-gejala aktivitas Vulkanis. Luas Kawah ini Sekitar 4 Hektar, dengan kepundan datar sehingga aliran airnya mengalir ke bawah. Warna air kawah yang keabu-abuan menyerupai air cucian beras (leri). Itulah asal muasal mengapa kawah ini dinamakan Kawah Sileri.









Johny Roxane Dijedi at Kawah Candradimuka

Kawah Candradimuka 
Terletak kurang lebih 6 Kilometer dari Kawasan Wisata Dataran Tinggi Dieng, di Desa Pekasiran Kecamatan Batur Kabupaten Banjar Negara. Inilah Kawah yang sering disebut-sebut dalam legenda pewayangan sebagai tempat dimana Gatotkaca Dijedi (dimandikan) sehingga memiliki kesaktian yang luar biasa. Oleh karena itu, saya juga mengikuti apa yang sudah Gatotkaca lakukan, sehingga siapa sangka saya juga bisa memiliki urat kawat tulang besi :)







Masih ada beberapa lokasi wisata yang sebenarnya kami kunjungi, namun karena ada beberapa kendala dan hal lain, saya tidak bisa menampilkan foto-foto tersebut. Kawah Sikidang dan Sumur Jalatunda diantaranya. Setelah puas menyusuri semua keindahan alam yang ada di Dieng, kami pun memutuskan untuk segera pulang ke Jakarta. Dengan menaiki kembali angkutan minibus/elf, kami pun segera menuju kembali ke Terminal Wonosobo untuk mendapatkan bis dengan tujuan Jakarta.

Demikianlah cerita mengenai perjalanan saya bersama kedua rekan kerja dalam menyusuri keindahan Dataran Tinggi Dieng. Perjalanan singkat di sela-sela kesibukan kami sebagai seorang karyawan, cukup membuat kami semua kelelahan dan tertidur pulas saat di perjalanan pulang. Namun apalah arti dari semua itu jika pada kenyataannya kami benar-benar menikmati dari setiap detik waktu yang telah kami lewati di Kahyangan, di sebuah negeri dimana para Dewa dan Dewi bersemayam.

Share on Google Plus

About Adang Sutrisna

An ordinary husband and father who was born at eastern small town of West Java. Working for the State Owned Company in Indonesia, loving outdoors activity and adventure addict. Part time wanderer with amateur experience, but full time dreamer with no limit to break the horizon as the destination...