Malioboro, Yogyakarta - D.I. Yogyakarta #Indonesia (Part I)

Picture Source : tempatwisatadijogja.com
Sama halnya seperti tulisan di artikel Ampera, Palembang - South Sumatera #Indonesia, meskipun pada kenyataannya saya sempat mengunjungi tempat-tempat menarik lainnya di Kota Yogyakarta, namun sebagai suatu penghargaan, maka judul serta isi dari tulisan kali ini saya fokuskan kepada Malioboro. Dan perlu dicatat sebelumnya bahwa D.I. Yogyakarta merupakan sebuah daerah istimewa setingkat provinsi yang meliputi 5 kota/kabupaten didalamnya yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunung Kidul, dan Kabupaten Kulon Progo. Dan Malioboro merupakan nama salah satu jalan yang berada dalam wilayah administratif Kota Yogyakarta.

Sekilas tentang sejarah Malioboro, asal nama Jalan Malioboro sendiri berasal dari bahasa sansekerta “Malyabhara” yang berarti karangan bunga. Namun adapula beberapa ahli yang berpendapat asal kata nama Malioboro berasal dari nama seorang kolonial Inggris yang bernama “Marlborough” yang pernah tinggal di Jogja pada tahun 1811- 1816 M. Banyak wisatawan manca negara yang mengidentikkan Jalan Malioboro sebagai Jogja, jadi tak lengkap rasanya berkunjung ke Jogja tanpa berkunjung ke Jalan Malioboro Jogja. Pemerintah Hindia Belanda membangun Malioboro sebagai kawasan pusat perekonomian dan pemerintahan pada awal abad 19. Malioboro dibangun dengan tujuan untuk menandingi kekuasaan Sultan Mataram dengan kemegahan istananya pada waktu itu. Selain itu dibangun pula Benteng Vredeburg pada tahun 1765, Istana Karesidenan Kolonial, Pasar Bringharjo, Inna Garuda Hotel yang kesemua letak bangunan bersejarah tersebut berada di utara alun alun Keraton Jogja.

Malioboro sebagai objek wisata legandaris di Jogja menawarkan wisata belanja yang terdiri dari wisata belanja tradisional dan wisata modern. Berbagai jenis souvenir yang dijual oleh para pedagang yang berjejer di sepanjang jalan Malioboro seperti Kaos, Batik, Gantungan Kunci, Tas, dan berbagai kerajinan yang terbuat dari kayu, perak, kulit, dan masih banyak lagi yang lainnya. Wisatawan juga bisa berbelanja di pertokoan-pertokoan yang berjajar di kawasan Malioboro.

Kembali kepada topik, tulisan mengenai perjalanan ini akan saya bagi menjadi tiga artikel yang didalamnya memuat beberapa cerita. Selain sebagai sarana untuk menajamkan kembali ingatan yang sudah mulai usang, faktor lainnya karena jika harus dipisahkan menjadi beberapa artikel rasanya terlalu kurang materi nantinya, dan tempatnya pun masih tetap di seputar Malioboro dan sekitarnya. Sementara jika hanya ditulis satu cerita saja, terlalu sayang jika cerita lainnya harus saya buang begitu saja. Jika dihitung berapa kali saya pernah menginjakan kaki di Jogja, jujur saya tidak ingat secara pasti. Namun untuk maksud dan tujuan apa saja saya pernah berkunjung ke Jogja, mudah-mudahan saya masih bisa mengingatnya dengan baik.

Cerita Pertama : The Confession of Putih - Abu
Sebagai cerita pembuka, pengalaman ini benar-benar merupakan pengalaman dimana saya untuk pertama kalinya menginjakan kaki di Jogja. Kala itu kurang lebih sekitar bulan-bulan di awal tahun 2002, dimana ketika itu saya masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Menengah Atas di salah satu sekolah negeri yang berada di Kabupaten Sumedang. Kalau tidak salah, tepat sebelum menghadapi UAN atau EBTANAS pada masa itu, sekolah kami merencanakan study tour atau karyawisata ke Yogyakarta dan sekitarnya.

Keberangkatan rombongan sekolah kami waktu itu ditempuh malam hari dengan menggunakan sekitar 7 sampai 8 unit bus pariwisata setelah sebelumnya kami semua berkumpul di Alun-Alun Sumedang sebagai meeting point. Jalur yang ditempuh pun sudah pasti melalui jalur Pesisir Selatan melewati Tasikmalaya - Ciamis - Cilacap - Kebumen - Purworejo untuk kemudian tiba di Jogja sekitar pukul 8 atau 9 pagi. Satu armada bus yang isinya di dominasi oleh para ABG tanggung ini, sudah pasti banyak sekali cerita selama perjalanannya. Hanya saja saya yang waktu itu bisa dikategorikan sebagai siswa pendiam, hanya mengisi waktu perjalanan tersebut dengan duduk di kursi paling belakang tertidur sambil sesekali berbincang dengan teman yang lainnya. Setiba di Jogja bus kami tidak singgah terlebih dahulu, akan tetapi langsung menuju Kabupaten Magelang untuk mengunjungi destinasi pertama yaitu Candi Borobudur, lalu kemudian singgah di pusat perak Kota Gede, dan langsung menuju Pantai Parangtritis ketika menjelang sore hari. Bisa dikatakan di Pantai Parangtritis inilah rombongan kami banyak menghabiskan waktu sampai akhirnya kita beranjak menuju penginapan yang terletak tidak jauh dari Malioboro guna beristirahat.

Selepas senja, saya bersama beberapa orang teman lainnya yang kebetulan mendapat jatah tempat tidur satu kamar, mulai beredar diawali dengan nongkrong di pinggir jalan depan penginapan hingga akhirnya kami memtuskan untuk ikut pergi menuju Malioboro dengan menggunakan becak seperti yang dilakukan oleh teman kami yang lainnya. Dan inilah kali pertama dimana saya menginjakan kaki serta merasakan suasana Malioboro di malah hari. Kesan pertama yang muncul waktu itu tidak terlalu begitu berkesan, karena selain saya masih terlalu muda untuk mengerti tentang esensi dari suatu perjalanan, saya juga tidak memiliki uang yang cukup untuk jalan-jalan lebih jauh lagi menaiki becak guna menikmati suasana Jogja. Namun tetap, masih segar dalam ingatan bahwa suasana malam di Malioboro waktu itu, sudah lebih dari cukup membuat siapapun betah berlama-lama menghabiskan waktu disana meskipun hanya sekedar untuk nongkrong di pinggir jalan.

Keesokan harinya rombongan kami check out dari penginapan untuk kemudian beranjak pulang menuju Sumedang dengan terlebih dahulu mampir dibeberapa destinasi tambahan seperti pusat oleh-oleh dan lainnya. Memang tidak terlalu banyak cerita yang bisa saya bagi dalam perjalanan ini, karena selain penuh dengan keterbatasan, saya juga masih memiliki makna lain tentang arti dari sebuah perjalanan. Jaman dimana kami masih menjadi remaja tanggung yang memakai pakaian putih abu, dimana saat itu lagu-lagu yang disenandungkan oleh Melly Goeslaw dan Dewa 19 masih kerap menemani keseharian kami, disertai gebrakan film legendaris yang dibintangi oleh Dian Sastro Wardoyo yaitu AADC sukses menginspirasi setiap generasi pada masa itu, sehingga bagaimanapun kondisinya saat itu, namun tetap perjalanan ini akan selalu terasa manis-manis gimana gitu jika harus diingat kembali...

Cerita Kedua : Antara Buhe, Es Teh Sewu, dan Sosrowijayan
Berbeda dengan cerita pertama, perjalanan di cerita kedua ini memiliki dokumentasi yang lebih baik, karena perjalanan ini dilakukan 10 tahun kemudian dimana saya sudah melewati masa SMA dan bahkan sudah lulus dari bangku perkuliahan di salah satu universitas di Bandung. Sudah bekerja setahun lebih di salah satu kantor BUMN di Ibukota, sedikit beranjak dewasa, dan yang pasti jaman pun sudah berubah memasuki era digitalisasi. Sehingga ketika perjalanan ini dilakukan, paling tidak saya sudah memiliki smartphone ditangan yang siap mengabadikan berbagai momen apapun, kapanpun dan dimanapun saya berada.

Lain dulu lain sekarang, pada awalnya perjalanan ini sebenarnya saya niatkan untuk mengunjungi Candi Prambanan yang memang sama sekali belum pernah sekalipun saya kunjungi. Namun tetap, disini saya tidak akan bercerita mengenai candi yang terletak di perbatasan antara Kabupaten Sleman dan Kabupaten Klaten tersebut, melainkan Jalan Malioboro dan daerah seputaran Kota Yogyakarta saja. Dan perjalanan ini saya lakukan seorang diri dengan moda transportasi yang saya pilih adalah kereta api. Karena selain murah, saya juga memang belum pernah menempuh perjalanan jauh dengan menggunakan kereta api.

Dini hari pada tanggal 23 Maret 2012, dengan menaiki angkutan umum bertipe minibus atau elf jurusan Cikijing - Bandung yang biasa disebut Buhe, saya bergegas dari Sumedang untuk menuju Stasiun Kiara Condong, Bandung. Berdasarkan informasi yang saya peroleh, di stasiun ini ada jadwal keberangkatan kereta api ekonomi di pagi hari. Benar saja, saat itu ada satu keberangkatan KA Pasundan sekitar pukul 05.30 WIB. Namun karena tanpa pemesanan terlebih dahulu, saya tidak berhasil mendapatkan tiket di counter resmi PT. KAI karena kehabisan. Akhirnya saya bisa mendapatkan tiket dari seorang calo dengan harga Rp. 65.000, padahal jika membeli di counter resmi atau melalui reservasi seharusnya harganya Rp. 45.000 saja.

Kereta pun berangkat sesuai jadwal yang telah ditentukan, dan saya mendapatkan tempat duduk yang sama dengan seorang bapak setengah baya yang akan menuju Kutoarjo. Selama perjalanan didalam kereta, saya banyak menghabiskan waktu mengobrol ngalor ngidul dengan penumpang lainnya sambil sesekali berjalan keluar gerbong jika melihat pemandangan indah yang dilewati, seperti halnya yang dilakukan oleh Herjunot Ali dalam film 5cm. Hanya saja sudah barang tentu tidak ada Pevita Pearce yang menemani saya di gerbong tersebut...lol. Karena memang, jika ditanya perasaan dan kesan yang saya dapatkan ketika pertama kali menaiki kereta api ekonomi ini cenderung sama dengan gambaran seperti halnya dalam Film 5cm. Suatu keadaan yang jauh dari kata kenyamanan namun syarat akan makna kesederhanaan ini, saya nikmati setiap menit dan detiknya. Hingga sampai kereta yang saya naiki ini tiba di salah satu stasiun di sekitar Kebumen, saya tidak dapat menahan tawa ketika melihat salah seorang pedagang asongan legendaris yang berperawakan tinggi besar dengan muka yang sangar, berteriak "Es teh sewu, ora enak ora dibayar" sambil menjajakan dagangannya dengan logat Jawa yang sangat kental sekali, dan uniknya tidak ada satu kata atau kalimat tambahan lainnya selain kata tersebut yang keluar dari mulutnya, dari pertama dia menaiki gerbong sampai di akhir dia turun dari gerbong kereta. Dan yang paling membuat saya tidak tahan adalah raut wajahnya yang nyaris tanpa ekspresi atau bisa dikatakan lempeng alias hare kalau dalam Bahasa Sundanya mah.

Belakangan saya baru tersadar bahwa ternyata bukan hanya saya saja yang tidak kuat menahan tawa ketika melihat tingkah laku pedagang itu, tapi ternyata banyak orang yang dibuatnya terpingkal juga akan ulah pedagang ini. Namun ketika ada penumpang lain yang sudah sering menaiki kereta ekonomi ini memberi tau saya bahwa pedagang ini memang sudah banyak dikenal karena ciri khas nya itu, maka atas dasar itulah saya menyebutnya sebagai "The Legend". Selain karena tingkah lakunya yang cukup membuat orang terhibur, faktor lainnya adalah karena harga yang ditawarkan pun cukup murah yaitu Rp. 1000 saja untuk ukuran sekantong plastik es teh manis, maka tak heran jika dagangannya pun cukup laris. Saat itu perut saya pun sudah mulai keroncongan, akhirnya saya pun membelinya, sekalian dengan satu bungkus nasi pecel ayam yang saya beli dari seorang ibu yang merupakan salah satu patner jualan Sang Legend di wilayah stasiun tersebut. Dan coba tebak berapa harga yang saya dapatkan untuk memperoleh nasi pecel ayam tersebut?. Untuk mendapatkan satu paket nasi ditambah sayuran yang dilengkapi dengan bumbu pecel serta satu potong paha ayam itu, saya cukup mengeluarkan kocek Rp. 5000 saja, sehingga jika dikalkulasikan total biaya makan siang lengkap dengan minuman pada saat di kereta itu, saya cukup menghabiskan uang Rp. 6000 saja untuk semuanya. Padahal jika dibandingkan dengan harga rata-rata makan siang di daerah lain, di Jakarta terutama, saya harus merogoh kocek sekitar Rp. 15.000 - 20.000 untuk mendapatkan makan siang dengan menu yang sama.

Setelah melewati perjalanan sekitar 10 jam, akhirnya kereta pun tiba di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Dari sana saya langsung menuju kawasan paling terkenal bagi para backpacker internasional yaitu Sosrowijayan untuk mencari penginapan. Ketika sedang menyusuri gang demi gang di daerah Sosrowijayan, tanpa sengaja saya bertemu beberapa orang pejalan dari Jakarta yang sama-sama sedang mencari penginapan juga di tempat itu. Kami memutuskan untuk jalan berbarengan dan akhirnya kami pun menemukan satu penginapan yang sesuai dengan budget kami yaitu Rp. 50.000 saja untuk tarif per malamnya.
Malioboro Street Corner

Ketika malam tiba, sesudah kami semua membersihkan diri dan beristirahat sejenak di penginapan, tepat selepas isya kami pun mulai berjalan-jalan menikmati keindahan Yogyakarta di malam hari dari berbagai sudut Jalan Malioboro. Jajakan kerajinan khas Jogja dan warung-warung lesehan yang menjual berbagai aneka makanan selalu menjadi ciri tersendiri akan uniknya Malioboro. Selain itu jalan yang terkenal sebagai tempat berkumpulnya para seniman ini juga menjadi salah satu tempat untuk mengekpresikan kemampuan mereka seperti bermain musik, melukis, hapening art, pantomim, dan lain-lain di sepanjang jalan. Malam yang indah dipenuhi dengan kilauan cahaya lampu berwarna-warni seolah menyambut kedatangan pengunjung kawasan Malioboro untuk menikmati suasana yang masih kental dengan budaya Yogyakarta. Keramaian pada malam hari tak kalah ramainya dengan pagi maupun di siang hari, meskipun malam semakin larut. Dengan berjalan kaki setapak demi setapak menyusuri jalan Malioboro lebih terasa puas jika dibandingkan dengan menggunakan kendaraan bermotor.
Vredeburg Stronghold

Langkah kaki kami pun tak terasa hampir berada di penghujung jalan Malioboro, tepatnya di Benteng Vredeburg yang di depannya berdiri dengan megah gedung putih atau yang biasa disebut dengan Gedung Agung D.I. Yogyakarta. Di depan kedua obyek wisata ini, tampak pengunjung memadati kursi-kursi semen yang dibuat khusus untuk bersantai sambil menikmati kopi hangat dari penjual kopi asongan yang berjualan pada malam hari. Sebagian besar pengunjungnya anak muda yang duduk-duduk santai sambil bernyanyi diiringi dengan gitar bersama dengan teman sebayanya. Ada pula yang hanya berbincang-bincang dengan pasangan maupun kerabatnya sambil tertawa ringan. Seiring malam yang semakin larut, kami pun mulai beranjak kembali ke penginapan untuk mengistirahatakan badan yang sudah kelelahan.



Di keesokan harinya, kami menuju Candi Prambanan sesuai dengan apa yang telah saya rencanakan, karena kebetulan kawan-kawan seperjalanan pun berencana untuk menuju kesana. Namun seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya, bahwa dalam artikel ini saya tidak akan membahas tentang candi Roro Jonggrang tersebut, karena cerita itu akan saya bahas nanti di artikel lainnya mengenai Candi Prambanan. 

Sepulang dari Prambanan kami masih menginap satu hari lagi di penginapan tersebut, hingga pagi pun tiba dan akhirnya kami harus berpisah. Kawan-kawan seperjalanan kembali bergerak menuju Purworejo, sementara saya harus kembali ke Sumedang untuk kemudian beranjak menuju Jakarta. Kembali kepada rutinitas pekerjaan dengan membawa semangat serta cerita baru tentang sebuah pengalaman yang sampai kapan pun akan tetap memberikan kesan tersendiri dalam perjalanan hidup ini.

Share on Google Plus

About Adang Sutrisna

An ordinary husband and father who was born at eastern small town of West Java. Working for the State Owned Company in Indonesia, loving outdoors activity and adventure addict. Part time wanderer with amateur experience, but full time dreamer with no limit to break the horizon as the destination...