Stulang, Johor Bahru - Johor #Malaysia


Dalam tulisan kali ini saya akan bercerita tentang suatu tempat yang berada diluar wilayah Indonesia, lebih tepatnya berada di salah satu negara tetangga kita yaitu Malaysia. Dan ini merupakan artikel pertama yang saya tulis tentang perjalanan melewati batas negara. Cerita ini bermula ketika saya untuk kesekian kalinya sudah berwara-wiri di Kota Batam dan Provinsi Kepulauan Riau terkait salah satu pekerjaan yang harus saya lakukan di sana. Sampai-sampai saking lamanya penugasan tersebut, akhirnya saya memutuskan untuk tidak tinggal lagi di hotel, lalu berpindah untuk menyewa bulanan sebuah kamar kost di daerah sekitar Baloi. Meskipun tiap dua minggu sekali atau lebih saya harus pulang ke Jakarta, tapi tidak ada salahnya demi menghemat pengeluaran saya tetap memilih tinggal di kost-kostan tersebut.

Dan ketika pekerjaan itu sudah berada di titik akhir penyelesaian, dimana kesibukan mulai relatif menurun dan kontrak kerja pun akan berakhir, saya mulai kebingungan harus berbuat apa untuk mengisi waktu luang yang banyak tersisa itu, terlebih ketika weekend datang dan saya kebetulan berada di Batam. Memutari setiap penjuru Kota Batam sudah pasti saya lakukan, mengunjungi setiap kabupaten atau pulau yang berada di Provinsi Kepulauan Riau pun sudah saya lakukan seiring dengan pelaksanaan pekerjaan yang memang mengharuskan saya untuk mengunjungi daerah-daerah tersebut. Mengunjungi salah satu negara terkenal di Asia pun, yaitu Singapura, kerap saya lakukan hampir di setiap waktu weekend (cerita lainnya). Sampai akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke Malaysia melalui jalur laut dari Pelabuhan Batam Center.

Sekitar awal bulan Desember 2012, pagi itu sekitar pukul 06.30 saya berangkat dari kostan menuju Pelabuhan Batam Center dengan menaiki sebuah taxi langganan saya selama di Batam. Sesampai disana saya langsung menuju counter tiket untuk membeli tiket kapal ferry PP (Pulang Pergi) agar lebih murah jika dibandingkan membeli satu tiket one way saja. Tiket itu saya dapatkan seharga IDR. 360.000 sudah termasuk pajak pelabuhan atau seaport tax di Batam Center namun belum termasuk seaport tax di Pelabuhan Stulang Laut yang berkisar antara MYR 15.00. Tidak terlalu lama menunggu, akhirnya saya pun memulai cerita petualangan ini dengan bergegas menaiki kapal ferry yang sudah memberikan tanda keberangkatan.

Sepanjang perjalanan menyusuri Semenanjung Malaya tersebut saya habiskan dengan melihat-lihat pemandangan sekitar sambil sesekali memperhatikan handphone yang ada ditangan untuk melihat pergantian operator seluler ketika memasuki wilayah perbatasan dan google map hanya sekedar iseng untuk mengetahui dimana lokasi saat itu berada. Perjalanan ini memakan waktu sekitar 90 menit, hingga akhirnya kapal pun tiba di Pelabuhan Stulang Laut. Setelah melewati pemeriksaan imigrasi dan lain-lain, saya pun akhirnya keluar dari pelabuhan tersebut. Entah kenapa tiba-tiba ada perasaan cemas dan khawatir pada saat kaki ini untuk pertama kalinya menginjakan kaki di negara ini. Seolah-olah saya sudah berada di luar zona nyaman kala itu. Dari mulai rasa canggung untuk berinteraksi dengan warga setempat, sampai perasaan lainnya bercampur menjadi satu. Namun di satu sisi saya merasa senang ketika saya pada akhirnya diberikan kesempatan untuk bisa mengunjungi negara ini. Berada di luar negeri seorang diri tanpa satupun kenalan yang saya miliki, dan tanpa dukungan dari siapapun, paling tidak membuat saya mulai mengerti bagaimana rasanya menjadi seorang backpacker seperti bule-bule yang dulu sering saya liat kebingungan di Jogja ataupun Bali. Terlebih kala itu backpacker atatupun traveling belum se-booming seperti sekarang.

Just enjoy the view of Stulang Beach...
Pantai Stulang
Keluar dari pelabuhan, sejenak saya melihat keadaan sekitar sambil mencari kedai kopi ataupun warung jajanan di sekitar pelabuhan, karena terkadang rasa cemas bisa hilang hanya dengan secangkir kopi dan berbatang-batang rokok. Akhirnya kedai kopi yang terletak tidak jauh dari pintu keluar menjadi pilihan saya. Tanpa rencana dan tanpa bantuan literasi sedikit pun tentang Johor, setelah rokok terakhir selesai dinikmati, saya pun beranjak dari kedai itu dan mulai berjalan menyusuri kota tersebut. Tidak jauh setelah saya berjalan kaki dari pelabuhan, ternyata saya menemukan sebuah pantai yang cukup menawan, Pantai Stulang namanya. Suasananya cukup tenang, memiliki pasir yang putih dan relatif bersih, meskipun airnya tidak begitu jernih, namun deretan nyiur melambai di sekitar pantai ini, cukup membuat saya betah berlama-lama menghabiskan waktu disini. Terlebih saat itu pantai ini cukup sepi dari pengunjung, dan haripun mulai menjelang siang, maka rasanya sangat nyaman sekali ketika saya berteduh di bawah deretan pohon kelapa tersebut. 

Gedung Sultan Ibrahim
Cukup puas berlama-lama di pantai, saya pun melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki lagi, dan tetap, saya belum juga menemukan tujuan yang pasti, hanya berjalan terus kearah pusat keramaian sambil melihat-lihat suasana sekitar. Hingga tak terasa sampailah kaki ini di depan sebuah bangunan yang cukup menarik, belakangan saya baru tau bahwa bangunan tersebut merupakan Gedung Sultan Ibrahim atau dalam bahasa Melayu disebut Bangunan Sultan Ibrahim. Gedung ini adalah bekas gedung sekretariat negara bagian Johor, terletak di Bukit Timbalan di Johor Bahru, Malaysia, yang dibangun antara tahun 1936 dan 1939, dan diselesaikan pada 1940 ketika pemerintah kolonial Britania berupaya untuk merampingkan administrasi negara. Gedung ini merupakan bangunan tertinggi di Malaya semasa era pra-Merdeka. 
Unique building...
Another pose...

















Sebenarnya waktu itu gedung ini sedang tutup, namun karena saya ngobrol cukup asyik dengan satpam penjaga yang berada di pos depan gedung tersebut, sambil bertukar rokok Indonesia-Malaysia akhirnya sang penjaga tersebut mengijinkan saya masuk dan bahkan mau mengambilkan foto untuk saya di depan gedung ini. Perjalanan ini benar-benar perjalanan backpacker sejati rupanya, karena terhitung setiba dari Pelabuhan Stulang sampai ke Gedung Sultan Ibrahim ini, saya sudah menemukan dua destinasi tanpa sengaja, dan semuanya saya tempuh hanya dengan berjalan kaki saja.
Siu Chin Road...

Puas melihat-lihat, saya pun melanjutkan langkah kaki untuk mencari makan siang dan sampailah di sebuah pedestrian area. Sebenarnya bukan pedestrian area, hanya saja kalau dilihat dari penataan ruas jalanannya, membuat para pejalan kaki bisa dengan leluasa berjalan di daerah ini. Jalan Siu Chin namanya, sebuah tempat yang lebih pas jika dikatakan sebagai China Town di Johor Bahru. Disini saya masuk ke sebuah kedai melayu untuk menikmati makan siang sepiring nasi, entah apa namanya tapi mirip nasi kebuli. Selain bersantap, saya sempat mengobrol dengan beberapa pengunjung, bertanya tentang akses-akses angkutan umum yang ada di Johor Bahru. Setelah menyelesaikan makan siang, sambil menikmati berbatang-batang rokok duduk di taman-taman kecil di sekitar jalan, tanpa sengaja saya melihat sebuah travel agent di sekitar ruas jalan tersebut. Saya pun mendatanginya untuk kemudian secara reflex membeli tiket bus malam untuk menuju Kuala Lumpur seharga MYR 35.00 yang akan berangkat dari Terminal Bus JB Larkin.

Arulmigu Sri Rajakaliamman
Setelah mendapat petunjuk arah dan jadwal keberangkatan dari pegawai agen tersebut, saya tidak langsung menuju ke Terminal Bus JB Larkin, akan tetapi tetap melanjutkan berjalan kaki hingga tiba di suatu Kuil Hindu unik dan tertutup kaca yang menonjolkan interior berhias mosaik, patung, serta mural yang cukup menawan, namanya Kuil Arulmigu Sri Rajakaliamman. Belakangan saya baru tau bahwa pura ini merupakan salah satu destinasi favorit juga bagi para wisatawan yang berkunjung ke Johor Bahru. Arulmigu Sri Rajakaliamman adalah salah satu kuil tertua di Malaysia. Rumah ibadah ini dulunya adalah sebuah pondok kecil yang dibangun pada tahun 1922. Setelah bertahun-tahun, pondok kecil ini berubah menjadi rumah ibadah yang cukup besar, tepatnya pada tahun 1991.
Flower Market...
Arulmigu Sri Rajakaliamman...

















Perlu diingat bahwa bagaimanapun tempat ini merupakan sebuah tempat ibadah. Jika kita memiliki niat untuk berkunjung ke tempat ini, saran saya pastikan terlebih dahulu bahwa disana tidak sedang berlangsung acara keagamaan. Karena sudah barang tentu kuil ini akan ditutup untuk para wisatawan. Di sekitar kuil ini kita bisa dengan mudah menemukan toko-toko bunga yang berbaris rapi di sepanjang jalan. Warna-warni bunga yang dijajakan disetiap kios para pedagang, menjadi tambahan keindahan tersendiri melengkapi keunikan arsitektur kuil Arulmigu Sri Rajakaliamman.

Tak terasa hari sudah menjelang petang, saya pun beranjak dari kuil ini untuk menuju terminal JB Larkin. Karena berdasarkan informasi dari pegawai travel agent tempat dimana saya membeli tiket bahwa perjalanan menuju Kuala Lumpur akan ditempuh dalam waktu sekitar 4-5 jam saja, maka saya pun masih cukup santai tidak terburu-buru. Terlebih bus yang akan membawa saya menuju Kuala Lumpur tersebut akan berangkat sekitar pukul 10 malam waktu setempat. Bahkan saya sempat berbincang lama dengan dua orang TKI yang saya temui di halte bus kota yang akan menuju Terminal JB Larkin. Yang satu berasal dari Cicalengka, Kabupaten Bandung dan yang satu lagi berasal dari Tasikmalaya. Karena secara kebetulan dua-duanya berasal dari Jawa Barat, otomatis bahasa yang kami gunakan pun adalah Bahasa Sunda. Dari obrolan bersama mereka saya banyak mendapatkan berbagai macam informasi lainnya yang memang saya butuhkan selama berada di Malaysia. Sampai di penghujung percakapan akhirnya kami pun bersama-sama menaiki bus kota tujuan JB Larkin. Karena memang mereka berdua menuju arah yang sama. Dan atas kebaikan mereka berdua jugalah, pada akhirnya saya bisa sampai di Terminal Bus JB Larkin ketika hari mulai beranjak gelap.

Seiring dengan berakhirnya hari yang dilalui di Johor Bahru, cerita perjalanan ini pun berakhir. Dan cerita lainnya tentang petualangan di Kuala Lumpur, akan saya tuliskan nanti di artikel selanjutnya. Bagaimanapun, meski hanya sekedar sepenggal pengalaman singkat, namun itu semua bukanlah suatu kendala dalam memaknai arti dari sebuah perjalanan itu sendiri, dan disana selalu ada cerita baru yang harus dijemput di esok hari.

Share on Google Plus

About Adang Sutrisna

An ordinary husband and father who was born at eastern small town of West Java. Working for the State Owned Company in Indonesia, loving outdoors activity and adventure addict. Part time wanderer with amateur experience, but full time dreamer with no limit to break the horizon as the destination...