Tanjung Pakis, Karawang - West Java #Indonesia



"Kalau bukan karena faktor keberuntungan, bisa jadi kami harus terjebak di jalan sepi cenderung terisolir itu, menghabiskan malam dingin diantara rimbunan pohon serta deretan makam..."

Paling tidak itulah pikiran yang terlintas dalam benak saya, ketika waktu itu saya bersama empat orang rekan kerja ditemani seorang driver senior yang sebelumnya pernah mengantar saya menuju Lampung (Way Kambas, Lampung Selatan - Lampung #Indonesia), terpaksa harus terjebak dalam suatu kondisi yang cukup memacu adrenalin. Pasalnya kendaraan bertipe minibus yang kami tumpangi harus terjerembab salah satu roda depannya dalam lumpur yang cukup dalam, sehingga mobil pun tidak bisa melanjutkan perjalanan lagi. Sore hari yang mulai beranjak menuju senja, keadaan sekitar yang hanya dipenuhi rimbunan pepohonan yang jauh dari pemukiman, jalan yang masih berbentuk tanah merah yang perlahan berubah menjadi medan lumpur karena guyuran hujan, serta deretan makam yang berjajar di balik rimbunan pohon, semua itu cukup membuat nyali kami semua sedikit menciut dalam menghadapi keadaan.

Meskipun kami sudah berusaha sekuat tenaga untuk mengeluarkan roda depan mobil tersebut, namun usaha kami tak kunjung membuahkan hasil, karena kubangan lumpur tersebut cukup dalam dan licin. Seiring hari yang beranjak semakin gelap serta hujan yang tak kunjung reda, kami pun semakin putus asa. Beruntung kala itu ada beberapa pemuda lokal yang lewat dengan mengendarai beberapa sepeda motor, dan jika dilihat dari tampilannya seolah mereka baru saja selesai bermain sepak bola. Tanpa berbasa-basi saya pun langsung menghampiri mereka guna meminta bantuan tenaga untuk mendorong mobil kami yang terjerembab dalam lumpur tersebut dengan menggunakan dialog Bahasa Sunda halus sebagai upaya untuk menghargai. Alhasil, dengan senang hati mereka pun menyambut baik permintaan saya itu untuk kemudian beramai-ramai mendorong mobil kami hingga pada akhirnya mobil pun berhasil keluar dari kubangan lumpur tersebut. Sebagai ungkapan terimakasih saya pun berniat mentraktir mereka sekaligus sebagai penunjuk arah bagi kami yang saat itu seolah merasa tersesat. Namun mereka menolak, akan tetapi mereka tetap memberikan petunjuk tentang arah tujuan yang kami tuju.
It's about 60 cm...

Dari awal keberangkatan, kami tidak pernah menduga bahwa medan yang akan kami tempuh akan seperti ini. Tanpa persiapan bahkan rencana, kami berangkat begitu saja dari tempat kerja di kawasan Pancoran, Jakarta menuju dua kecamatan yang terletak di perbatasan antara Bekasi - Karawang. Karena kami semua berpikir bahwa kedua kota tersebut merupakan kota yang letaknya sangat dekat dengan Ibukota, maka tak ada satupun dari kami yang memiliki rencana persiapan untuk menuju kedua tempat tersebut. Dalam benak hanya tertanam bahwa daerah yang akan kami tuju pasti sangat mudah untuk dijangkau. Dan bahkan pakaian yang kami pakai pun bukan merupakan pakaian dinas lapangan dan semacamnya, kami semua rata-rata berkemeja rapi dengan setelan sepatu pantopel yang kami pakai. Tidak ada bekal makanan ataupun minuman yang sebelumnya kami persiapkan, kalau lapar tinggal mampir saja di warung terdekat di pinggir jalan, begitu kira-kira apa yang ada dalam pikiran ketika kami berangkat dari Jakarta.

Ceritanya berawal sekitar Februari 2012, kala itu kami semua mendapat mandat untuk mengontrol kesiapan pekerjaan di Kecamatan Pakis Jaya dan Kecamatan Muara Gembong. Berbekal pengetahuan yang sangat minim dan bahkan cenderung tidak tau, pagi itu kami meluncur dari Jakarta menuju destinasi pertama yaitu Kecamatan Muara Gembong yang secara administratif terletak di Kota Bekasi. Beberapa jam menempuh perjalanan kami masih santai karena medan yang kami tuju masih seperti apa yang ada dalam pikiran kami. Diselingi dengan bertanya sana-sini kami pun mulai sedikit merasa aneh, karena dari setiap informasi yang kami dapatkan justru perjalanan ini semakin mengarahkan kami kepada jalan-jalan terpencil yang cenderung sepi. Dari menyusuri jalan sempit, jalanan berbatu, berlumpur dan bahkan mobil yang kami tumpangi pun terpaksa harus menyebrangi sungai dengan menaiki sebuah rakit. Saya tidak ingat secara rinci nama-nama daerah yang dilalui, namun yang pasti ketika sore menjelang, kami masih belum juga sampai ke tempat yang akan kami tuju, hingga pada akhirnya mobil kami pun terpaksa harus terjebak dalam kubangan lumpur.

Kembali kepada cerita, setelah mobil berhasil keluar dari kubangan lumpur atas bantuan dari para pemuda setempat yang kebetulan lewat, kami pun melanjutkan perjalanan hingga sampai di suatu kawasan dimana pemukiman penduduk mulai terlihat dan kami pun mampir di sebuah gubuk sederhana yang menjual makanan seadanya. Beruntung saat itu ada beberapa warga setempat yang sedang asyik berbincang hangat sambil menikmati secangkir kopi, sehingga kami pun bisa menggali lebih dalam lagi tentang informasi tujuan kami. Setelah memastikan bahwa arah tujuan kami ini benar dan lokasi kecamatan yang dituju pun hanya tinggal beberapa kilo meter lagi, maka sejenak kami pun beristirahat sambil mengisi perut yang sudah mulai keroncongan.
Unforgettable night...

Meskipun hanya gubuk sederhana, makanan seadanya, serta sajian kopi sachet murah yang hanya kami beli sekitar 2000 rupiah saja, namun entah kenapa momen kehangatan yang kami lalui bersama warga setempat ketika beristirahat di tempat ini terasa begitu berkesan dan sulit jika harus dilupakan begitu saja. Keramah-tamahan penduduk yang menyambut perbincangan kami diselingi gelak tawa yang terdengar, membuat segala lelah yang telah dilalui seolah sirna seiring hangatnya suasana malam pada saat itu.

Cukup puas beristirahat, kami masih harus melanjutkan perjalanan untuk bekerja, menuju kantor kecamatan yang sebelumnya sudah dikondisikan terlebih dahulu untuk menerima kedatangan kami meskipun saat itu hari sudah beranjak malam. Setelah sekitar setengah jam kami pun sampai di kantor kecamatan tersebut. Seorang pegawai kecamatan yang pada waktu itu menyambut kami pun tertawa setelah melihat keadaan kendaraan dan kondisi kami yang kotor karena sudah berjibaku dengan lumpur. Sesampai disana kami langsung memulai pekerjaan sampai beres untuk kemudian kami menumpang mandi membersihkan diri dan beristirahat. Tadinya kami berencana untuk menginap di kantor kecamatan ini. Namun dikarenakan ada pertimbangan lain akhirnya kami pun memutuskan untuk langsung menuju Kabupaten Karawang dan berniat untuk mencari penginapan di sekitar sana guna beristirahat.

Sesampai di Karawang kami tidak jadi mencari sebuah penginapan untuk beristirahat, karena selain malam pun sudah mulai beranjak dini hari, rasanya sayang juga jika kami harus mengeluarkan biaya hanya untuk menginap terhitung dari pukul 2-3 dini hari, sementara harus check out di pagi harinya. Oleh karena itu kami sepakat untuk menghabiskan malam di warung-warung pinggir jalan yang buka 24 jam, sambil sesekali bergantian untuk beristirahat di dalam kendaraan.

Di pagi harinya kami sudah berada di sekitar Kantor Kecamatan Pakis Jaya. Sambil menunggu pegawai kecamatan datang, kami mampir di sebuah warung makan untuk sarapan pagi dan menikmati secangkir kopi. Ketika kantor kecamatan sudah buka, kami pun langsung menuju kantor itu untuk kemudian bekerja memenuhi apa yang sudah menjadi tugas dan tujuan kami menuju kesana.

Singkat cerita, sekitar pukul 11 pagi, kami pun sudah bisa menyelesaikan semua pekerjaan yang ada di sana. Kami berpamitan pulang sambil iseng bertanya tentang seputar informasi wisata yang bisa kami kunjungi di sekitar Pakis Jaya kepada pegawai kecamatan yang waktu itu menerima kami. Dari obrolan tersebut akhirnya kami mendapatkan informasi mengenai Pantai Tanjung Pakis. Bagi kami tak ada salahnya jika disaat perjalanan pulang kami mampir untuk sekedar melihat-lihat sekaligus rehat sejenak sambil menikmati makan siang disana.
Banana spot...
Just feel free...

Setelah menyusuri jalanan beberapa saat, pada akhirnya jalanan ini membawa kami ke sebuah desa nelayan. Desa yang padat dan perahu perahu berjajar ditepi sungai. Di depan sungai sudah terhampar luas laut Jawa, sampailah kami di Pantai Tanjung Pakis. Pantai ini lebar, hamparan pasirnya cukup luas, pasir berwarna hitam kecoklatan yang lembut khas pantai. Meski air lautnya berwarna kecoklatan seperti halnya pantai-pantai yang berada di gugusan Utara Pulau Jawa, tapi itu cukup membuat kami merasa nyaman dan bisa menikmati suasana di pantai tersebut, terlebih saat itu sedang sepi pengunjung.

Di area pantai nelayan ini meskipun ada warung-warung makan dan tempat bilas tapi bisa dikatakan sepi. Area yang ramai adalah di sekitaran area akses pintu masuk utama, selain banyak warung ikan bakar juga banyak penjual lainnya. Warung-warungnya berjajar rapi dan bersih, tidak berkesan kumuh, tinggal dipilih-pilih saja jika kita ingin makan dan bersantai. Banyak warga sekitar yang menjajakan sajian khas laut seperti, ikan bakar, cumi bakar, kerang dara serta hidangan laut lainnya. Ikan disini merupakan ikan hasil tangkapan para nelayan, kondisi ikannya pun masih segar. Serta terdapat ibu-ibu penjual makanan yang berkeliling membawa bakul menjajakan makanan seperti, ''gemblong'', lontong, dan aneka makanan tradisional lainnya. Bagi wisatawan yang ingin membeli ikan hasil tangkapan nelayan disini juga di jual, baik ikan asap maupun ikan asin.

Ketika hari menjelang sore, dan setelah merasa cukup puas, kami pun beranjak pulang menuju Jakarta, menyusuri hiruk pikuk Tol Cikampek yang cukup padat untuk kembali berakifitas di keesokan hari. Itulah sepenggal cerita yang pernah kami lalui. Meskipun terkesan dadakan, sambilan, dan tanpa unsur kesengajaan, tapi paling tidak perjalanan ini tetap selalu menjadi tambahan pengalaman bagi kami semua. Dan sekali lagi "It's never about the destination, it's all about the journey..."

Share on Google Plus

About Adang Sutrisna

An ordinary husband and father who was born at eastern small town of West Java. Working for the State Owned Company in Indonesia, loving outdoors activity and adventure addict. Part time wanderer with amateur experience, but full time dreamer with no limit to break the horizon as the destination...