Malioboro, Yogyakarta - D.I. Yogyakarta #Indonesia (Part II)

Picture Source : Google.com
Menyambung dari tulisan sebelumnya yaitu Malioboro, Yogyakarta - D.I. Yogyakarta #Indonesia (Part I), tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan pertama dimana dalam tulisan kali ini masih mengulas tentang Jogja dengan cerita yang berbeda. Dalam tulisan kali ini juga saya akan mencoba menghadirkan beberapa cerita seperti halnya pada artikel pertama. Untuk cerita kali ini sengaja saya akan memberikan judul cerita yang diawali dengan cerita ketiga, supaya bisa menegaskan bahwa cerita yang terdapat dalam artikel ini merupakan kelanjutan cerita dari artikel sebelumnya.

Cerita Ketiga : Let Say “French in Sumber Kencono”
Kenapa cerita ini saya beri judul seperti diatas, karena perjalanan kali ini ditempuh ketika sebelumnya saya bertemu dan berbagi perjalanan dengan beberapa orang traveler yang berasal dari Kalimantan Selatan dan Perancis. Kami dipertemukan ketika pada saat itu saya sedang berdiri menunggu angkutan elf atau minibus yang akan membawa kami ke Cemoro Lawang di sekitar Terminal Bayu Angga, Problinggo. Kami sepakat untuk sharing cost menyewa elf tersebut agar tidak terlalu lama menunggu penumpang lainnya yang akan menuju Cemoro Lawang, yang merupakan gerbang utama untuk memasuki kawasan wisata Bromo - Tengger - Semeru. Dan cerita tentang perjalanan menuju Bromo ini akan saya tulis nanti di artikel lainnya. Disini saya hanya sedikit mengulas hal tersebut karena salah satu traveler yang berasal dari Perancis itu sepakat untuk berbagi perjalanan menuju Jogja bersama saya, setelah sebelumnya kami berbagi perjalanan ketika menuju Kawah Ijen, yang juga akan saya ceritakan di artikel lainnya.

Langsung menuju cerita, sekitar  tanggal 2 Februari 2013, sepulang dari Kawah Ijen kami berdua diantar oleh mobil charteran dan di drop di Terminal Bondowoso. Mengingat kala itu hari pun sudah menjelang sore, tanpa berlama-lama lagi kami langsung menaiki bus tujuan Surabaya yang kebetulan saat itu sudah berada di Terminal. Karena dari Bondowoso sendiri tidak ada bus tujuan langsung menuju Jogja, kami pun terpaksa harus menuju Surabaya terlebih dahulu untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan menuju Jogja. Bus yang kami tumpangi merupakan bus AC ekonomi dengan tarif sekitar Rp. 25,000,- kalau tidak salah, dan lama perjalanan memakan waktu sekitar 3 - 4 jam. Dalam perjalanan menuju Surabaya ini cenderung tidak banyak cerita, karena kami berdua cukup kelelahan sehingga tertidur pulas di deretan kursi belakang bus tersebut.

Sesampai di Surabaya kami berdua tidak beranjak kemana-mana, setelah mencari  informasi tentang keberangkatan bus menuju Jogja, kami hanya tiduran berleyeh-leyeh di lantai Terminal Bungurasih layaknya seorang gembel di area pemberangkatan sambil menunggu bus yang akan menuju ke Jogja. Mungkin karena heran akan tingkah laku kami berdua atau entah karena alasan lainnya, yang pasti waktu itu banyak mata yang tertuju kepada kami. Dari mulai obrolan serta traktiran kopi dari seorang petugas terminal, sampai beberapa permintaan foto dari beberapa orang yang juga ikut bergabung dalam obrolan kami dengan petugas terminal tersebut, cukup membuat malam itu terasa begitu hangat dan begitu mengalir. Yang pasti siapa saja pasti aneh ketika melihat dua orang backpacker lusuh yang terdampar tengah malam di lantai Terminal Bungurasih, dimana yang satu merupakan Orang Indonesia tulen dan yang satunya lagi Orang Bule.

Keramah-tamahan petugas terminal tersebut sayangnya harus berakhir ketika bus legendaris yang ditunggu dan akan membawa kami menuju Jogja pada akhirnya tiba. Legendaris karena memang bus ini cukup terkenal di sepanjang rute jalur ini, dan bahkan saya pun yang notabene merupakan Orang Jawa Barat, sudah pernah mendengar tentang kabar yang beredar dari bus yang dijuluki “Raja Jalanan” tersebut. Menurut kabar burung, bus tersebut terkenal karena kebringasan para sopirnya yang tidak segan-segan memacu busnya dengan kecepatan yang sangat tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut, maka tidak heran jika kemudian banyak masyarakat yang meplesetkan nama dari bus tersebut yang seharusnya “Sumber Kencono” menjadi “Sumber Bencono”. 

Ternyata julukan terhadap bus tersebut bukan sekedar isapan jempol belaka. Terhitung pukul 2 dini hari kami berangkat dari Terminal Bungurasih Surabaya, namun dengan sangat luar biasanya bus itu bisa tiba di Terminal Giwangan Jogja sekitar pukul 8-9 pagi. Padahal jarak yang ditempuh kurang lebih sekitar 325 kilometer, dan bus tersebut juga bukan merupakan bus patas AC yang tidak menaikan/menurunkan penumpang di jalanan, melainkan hanya bus AC ekonomi biasa bertarif sekitar Rp. 57,000,- yang kerap keluar masuk penumpang dan juga keluar masuk terminal transit di kota-kota yang dilewatinya. Itulah kenapa tidak heran jika banyak tulisan dalam blog yang saya temui, mengklaim bahwa kemampuan Rio Haryanto pembalap nasional kita itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kemampuan para sopir Bus Sumber Kencono…hahaha. Dan bahkan teman saya dari Paris ini pun mengatakan bahwa ini merupakan bus paling gila yang pernah ditumpanginya.

Tiba di Terminal Giwangan, kami langsung menuju daerah Prawirotaman guna mencari penginapan. Selain daerah Sosrowijayan, Prawirotaman juga merupakan sebuah nama jalan dimana para backpacker internasional kerap kita temui berlalu-lalang disini. Selain dipenuhi oleh berbagai macam penginapan dari yang mahal sampai yang termurah, di kawasan ini juga kita bisa dengan mudah menemukan berbagai travel agent dan restaurant bernuansa etnis atau internasional berjejer di sepanjang jalan. Kami pun langsung menyewa sebuah kamar seharga Rp. 100,000,- dengan fasilitas dua bed didalamnya, cukup murah bukan?.
What's the meaning of "Becak" in French?...

Hari pertama di Jogja, kami berdua memiliki tujuan yang berbeda. Setelah beristirahat sejenak, saya menghubungi salah satu sahabat semasa kuliah dulu di Bandung, yang secara kebetulan dia bekerja dan berdomisili di Jogja pada saat itu, lalu kemudian kami menuju Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat (cerita lainnya). Sementara teman seperjalan berencana untuk mengunjungi Pasar Satwa & Tanaman Hias Yogyakarta atau yang dikenal dengan Pasar PASTY, karena penasaran ingin melihat anak ayam yang dicat yanci berwarna-warni yang terdapat disana.

Di malam hari, saya bersama teman seperjalanan menghabiskan waktu bersantai di Malioboro dengan menaiki becak dari Prawirotaman. Sengaja saya mengajaknya menaiki becak agar teman dari Paris ini bisa merasakan sensasi unik naik becak, menikmati suasana malam Jogja yang selalu saja menjadi khas tersendiri, sehingga tidak akan pernah bosan sekalipun kita sudah sering melakukannya. Cukup puas menikmati suasana malam Kota Jogja, kami kembali ke penginapan karena malam pun semakin larut.

Sesampai di penginapan kami berdua tidak langsung tidur dan beristirahat. Di lobby penginapan kami duduk santai berbagi cerita sambil menikmati malam. Berbagi cerita tentang segala hal, dari mulai pengalaman-pengalaman unik yang ditemui ketika berpetualang seorang diri hingga berbagi cerita yang bersifat personal. Karena kebetulan teman saya ini sudah melanglang buana melewati berbagai negara, kurang lebih sekitar 40 negara telah dilewatinya. Sungguh pengalaman yang luar biasa jika dibandingkan dengan pengalaman yang saya miliki, tentunya sangat jauh sekali. Itulah salah satu alasan bagi diri saya pribadi kenapa lebih cenderung menyukai perjalanan ala backpacker yang bersifat go show dan explorasi, tanpa perencanaan yang terlalu ribet sebelumnya, serta penuh dengan berbagai kemungkinan. Karena yakin, pengalaman-pengalaman tersebut akan selalu menjadi pelajaran paling berharga dalam cerita kehidupan yang kita jalani. Dan malam itu merupakan farewell night bagi kami, karena esok hari teman dari Paris ini akan menuju Pulau Dewata, sementara saya masih berada di Jogja untuk menghabiskan waktu bersama teman semasa kuliah dulu dan mengunjungi Candi Borobudur (cerita lainnya).

Cerita Keempat : Business or Pleasure
Berbeda dengan cerita sebelumnya, pada cerita keempat ini kedatangan saya ke Jogja adalah untuk bertugas menangani salah satu pekerjaan yang ada di seluruh wilayah Provinsi D.I. Yogyakarta. Terhitung sejak kedatangan pertama di Jogja 12 Juni 2013, hingga di penghujung tahun 2014, saya kerap mondar-mandir Jakarta - Jogja untuk berbagai kepentingan pekerjaan. Sungguh suatu penugasan yang sangat kebetulan sekali, mengingat di cerita ketiga saya terakhir kali mengunjungi Yogyakarta itu sekitar bulan Februari di tahun yang sama.

Moda transportasi yang kerap saya gunakan pun berbeda juga dengan perjalanan-perjalanan sebelumnya. Bukan kereta ekonomi ataupun bus ekonomi, akan tetapi saya kerap menggunakan pesawat udara guna mempersingkat waktu, dan jika tidak mendapatkan tiket pesawat, biasanya saya menggunakan kereta api executive sebagai alternatif lainnya. Sementara untuk kebutuhan tempat tinggal, pada awal kedatangan saya masih menginap di beberapa hotel berbintang. Selain karena memang masih dalam rangka memulai pekerjaan yang diiringi beberapa acara sosialisasi yang kerap digelar di hotel-hotel tersebut, frekuensi trip perjalanan dinas pun masih relatif rendah. Namun seiring berkembangnya kebutuhan, pada akhirnya saya memutuskan untuk menyewa hostel/guest house secara bulanan sebagai tempat tinggal selama bertugas di Jogja. Sebuah guest house sederhana dengan arsitektur Jawa Kuno di daerah Prawirotaman menjadi pilihan pada saat itu.

Hampir satu setengah tahun saya seolah-olah pindah domisili ke Jogja, maka tak heran jika banyak cerita serta pengalaman yang kerap dialami selama tinggal disini. Dan pengetahuan tentang setiap tempat serta pola sosio-kultural yang saya pahami sebelumnya tentang Jogja pun otomatis bertambah seiring lamanya penugasan ini. Dari mulai berinteraksi dengan warga di desa-desa, masuk kedalam lingkaran pergaulan para traveler, bisnis pariwisata, komunitas-komunitas tertentu, hingga sampai masuk kedalam lingkungan pergaulan Pemerintah Daerah karena tuntutan pekerjaan, semuanya pernah dilalui kala itu.

Di bulan-bulan pertama, kegiatan saya benar-benar terfokus untuk bekerja dengan mobilitas tinggi yang mengharuskan saya untuk mengunjungi desa-desa di wilayah Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Kulon Progo, serta berkoordinasi dengan pemerintahan setempat demi kelancaran pekerjaan yang akan dilakukan. Untuk kelancaran pekerjaan, saya biasanya menyewa satu unit mobil atau satu unit sepeda motor sebagai penunjang mobilisasi. Dari kepercayaan saat menyewa kendaraan yang telah terbangun inilah pada awalnya saya mulai masuk kedalam lingkaran dunia pariwisata di Jogja. Karena saya kerap menyewa unit kendaraan dari salah satu travel agent yang terletak di Jalan Tirtodipuran, sebut saja namanya "Easy Travel". Saya diberi kepercayaan yang cukup luar biasa disana, karena biasanya untuk menyewa satu unit kendaraan, mobil terutama, biasanya travel agent tersebut tidak akan pernah melepaskan kuncinya kepada penyewa, melainkan harus menyewa jasa supir yang juga telah disediakan. Namun saya berhasil mendapatkan kepercayaan itu, meskipun pada waktu itu saya dengan pemilik travel agent tersebut bisa dikatakan bertemu untuk yang pertama kalinya.

Sementara di lingkungan tempat tinggal, saya mulai merasa kerasan tinggal di guest house yang suasananya sangat kental sekali dengan nuansa Jawa Kuno tersebut. Penginapan itu bernama Agung Guest House, terletak di Jalan Prawirotaman II, memiliki berbagai macam kamar yang disediakan dengan harga yang cukup terjangkau dikisaran Rp. 90,000,- hingga Rp. 300,000,-, serta beberapa orang pegawai yang sangat ramah sehingga membuat saya cukup kerasan selama tinggal di Jogja. Jika anda masih bingung dimana letak Jalan Prawirotaman I dan II, tontonlah film AADC 2, karena lokasi syuting film tersebut banyak mengambil latar di kedua jalan tersebut.

Selain bekerja di siang hari, di sore hingga malam harinya biasanya saya habiskan untuk nongkrong di travel agent langganan Jalan Tirtodipuran yang mulai berubah menjadi teman. Selain hanya sekedar untuk mengobrol, membaca koleksi buku yang ada, perlahan saya mulai mengamati cara kerja sebuah travel agent di Jogja. Bahkan terkadang saya menjadi pegawai dadakan ketika kebetulan gerai tersebut sedang ramai dikunjungi wisatawan asing yang mencari informasi. Selain sebagai sarana untuk memperlancar kemampuan berbahasa Inggris, gerai tersebut juga kerap menjadi tempat berbagi cerita dan informasi dengan para traveler yang datang berkunjung, jadi tak ada salahnya jika saya kerap mengisi waktu luang saya untuk nongkrong di tempat ini.
Hell Yeah \m/...

Itulah rutinitas yang kerap saya lewati selama tinggal di Jogja. Hingga sampai pada suatu saat ketika dalam perjalanan pulang dari lokasi kerja, saya mendapati jalan di sekitar Stadion Kridosono cukup penuh dengan pengunjung yang mayoritas berbaju hitam, sehingga saya pun sudah bisa menebak bahwa disana akan digelar suatu konser musik band cadas. Dan ketika melihat baligo/pamflet yang terpasang, ketertarikan saya semakin menjadi karena ternyata konser tersebut merupakan konser tunggal salah satu band metal legend asal Ujung Berung, Bandung, yaitu Burgerkill. Setelah memarkir kendaraan, saya pun membeli tiket untuk kemudian masuk ke venue di Stadion Kridosono tersebut. Selain karena suka dengan musik metal, secara kebetulan juga saya cukup mengenal beberapa personil band tersebut beserta para crew nya, karena saya juga termasuk orang yang pernah singgah dalam tongkrongan Homeless Crew Ujung Berung, Bandung.


Benar saja, ketika berjalan kearah panggung yang masih tampak lengang karena acara belum dimulai, saya bertemu dengan salah seorang official videographer yang sedang asyik mencari angle yang pas untuk merekam video, dan dia merupakan salah seorang kawan saya ketika di Bandung. Karena cukup sibuk, saya pun tidak ingin mengganggu kerjanya, kemudian berjalan menuju panggung dan pada akhirnya bertemu dengan Sang Vokalis yang langsung mengajak saya untuk masuk ke area backstage dan menemui personil lainnya yang diantaranya juga merupakan tutor saya dalam belajar guitar. Senang rasanya bisa berjumpa kawan lama di kota lain. Konser pun dimulai sesuai jadwal, dan seperti biasa, mereka mah selalu keren abis pastinya, karena mana mungkin menjadi Best Metal Band in Indonesia bahkan Asia kalau hanya begitu-begitu saja.
Festival Kesenian Yogyakarta...

Jelang beberapa hari setelah bertemu kawan lama, ada satu rangkaian festival yang membuat saya cukup tertarik ketika tinggal di Jogja, yaitu Festival Kesenian Yogyakarta (FKY). Saya mendapatkan informasi tersebut dari seorang kawan yang merupakan orang Jogja, dan bersama dirinyalah saya mengunjungi gelaran event tahunan tersebut. Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) merupakan event  tahunan yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Acara yang telah berlangsung selama 25 tahun ini berlangusng di Plasa Pasar Ngasem. Pasar Ngasem yang dulunya merupakan pusat pasar hewan kini diubah menjadi pasar kesenian pada penyelenggaraan FKY. Kios - kios banyak diisi oleh berbagai kerajinan tas, makanan tradisonal, gerabah dan kerajinan daerah di Yogyakarta. Di dalam pasar terdapat panggung megah untuk pertunjukan seni. Beberapa kesenian daerah akan dipertunjukkan di malam  hari di pangung tersebut. Seperti kesenian ketoprak yang ditampilkan siswa siswi Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruaan (SMK) dari Kabupaten Gunung Kidul.
Silent Hill...

Memasuki awal tahun 2014, sekitar bulan Februari, suatu pagi saya terbangun melihat kearah jendela dan mendapati suasana di sekitar penginapan seolah-olah berasap putih semua. Saya pun langsung keluar dari kamar untuk mencari tau apa yang terjadi. Pada akhirnya baru diketahui bahwa semua itu merupakan akibat dari letusan Gunung Kelud. Gunung Kelud yang terletak di perbatasan Kediri-Blitar, Jawa Timur, telah meletus sekitar pada pukul 22.50 WIB, Kamis (13/02/2014) malam, demikian informasi yang saya peroleh dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, BNPB, dalam keterangan resminya melalui media. Hujan abu vulkanik akibat dampak letusan Gunung Kelud telah menerpa hingga sejumlah wilayah di Jawa Tengah dan Yogyakarta, yang berjarak lebih dari 200 km dari Gunung Kelud, sungguh luar biasa. Karena dampak tersebut Yogyakarta pun lumpuh seperti layaknya kota mati dalam Film Silent Hill. Warga enggan beraktifitas keluar rumah karena abu tersebut bisa berdampak fatal bagi kesehatan. Namun tetap saja banyak warga yang nekad melakukan aktifitas.

Kurang lebih itulah beberapa highlight cerita yang saya alami ketika bertugas di Jogja. Selama tinggal di Jogja inilah saya banyak mengenal dan belajar banyak dari berbagai kehidupan. Dari sisi pekerjaan, saya banyak belajar tentang kehidupan yang mungkin sebelumnya tidak pernah saya lihat dan alami, karena pekerjaan saya disini adalah untuk memastikan bahwa dana bantuan perumahan dari Kementerian (Pemerintah Pusat) bisa tersalurkan kepada orang yang membutuhkan. Dalam bekerja tentu saja tidak serta merta lancar begitu saja tanpa menghadapi berbagai kendala. Dari mulai intimidasi yang dilakukan oleh oknum-oknum anggota partai atau LSM yang memaksa saya untuk mengalihkan bantuannya ke desa-desa tertentu yang menjadi basis kantong suara politiknya, oknum-oknum aparatur desa yang mengajak saya untuk berkalikong mendirikan toko material deadakan, hingga para oknum petinggi bank yang dengan sengaja menahan dana pencairan bantuan dengan harapan bisa berbunga, karena nominal yang disalurkan cukup besar. Namun semua itu alhamdulillah bisa saya hadapi berkat bantuan dari sahabat-sahabat di Jogja. Banyak petinggi-petinggi di Dinas Pemda setempat yang akhirnya menjadi sahabat saya, dan terkadang sering mengajak saya hanya untuk sekedar ngopi mengobrol ngalor-ngidul di angkringan sambil menikmati suanana malam di Yogyakarta.

Dari sisi dunia pariwisata, yang jelas saya jadi lebih tau banyak tentang Yogyakarta, akrab dengan para pemilik travel agent & guide, dan bahkan selama di Jogja inilah saya banyak berteman dengan traveler-traveler yang datang dari berbagai negara. Tujuannya jelas, karena memiliki teman di setiap penjuru dunia tidak ada ruginya, justru itu menjadi suatu poin tersendiri bagi saya, dengan harapan ketika pada akhirnya saya bisa mengunjungi negara asal dari para sahabat tersebut, paling tidak saya memiliki kenalan yang bisa membantu selama disana.

Di penginapan pun sama, keramah-tamahan baik pemilik guest house dan juga para pegawainya selama tinggal di Jogja, cukup membuat saya kerasan tinggal disini. Pak De, yang merupakan resepsionis shift malam disini, kerap saya pinjam sepeda onthel nya hanya sekedar untuk bersepeda malam menikmati suasanan Jogja. Bu De, yang merupakan juru masak, kerap menyajikan pancakenya yang khas dan teh manis hangat kepada saya di setiap pagi. Satu lagi Keple, seorang pegawai kebersihan dan pengurus kolam di guest house ini, yang selalu siaga membantu dan menemani saya kapan pun dan kemana pun.

Sedikit banyak seperti itulah cerita pengalaman saya selama tinggal di Jogja. Jika dilihat dari berbagai hal yang pernah dilalui di sana, maka tidak berlebihan rasanya jika saya menyebut Yogyakarta sebagai "Rumah Kedua". Karena bagaimanapun Yogyakarta akan tetap memiliki bagian tersendiri dalam seluruh rangkaian perjalanan kehidupan yang telah saya lewati... 

Share on Google Plus

About Adang Sutrisna

An ordinary husband and father who was born at eastern small town of West Java. Working for the State Owned Company in Indonesia, loving outdoors activity and adventure addict. Part time wanderer with amateur experience, but full time dreamer with no limit to break the horizon as the destination...