Kuta, Badung - Bali #Indonesia

Seperti yang telah saya singgung sebelumnya dalam artikel Sanur, Denpasar - Bali #Indonesia, bahwa kelanjutan cerita tentang perjalanan di Pulau Dewata akan saya bahas di tulisan selanjutnya, maka inilah tulisan yang telah dijanjikan tersebut. 

Dalam tulisan kali ini saya akan mencoba membahas pengalaman di beberapa destinasi yang selalu ramai dikunjungi di sekitar wilayah Kecamatan Kuta. Meskipun kecamatan utama yang ada di Kabupaten Badung adalah Kecamatan Mengwi, namun tidak dapat dipungkiri bahwa detak jantung pariwisata dari Kabupaten Badung sendiri adalah Kecamatan Kuta. Oleh karena itu tulisan ini saya beri judul Kuta sebagai fokus utama.

Kecamatan Kuta adalah sebuah Kecamatan di Kabupaten Badung, Bali, Indonesia yang memiliki luas 17,52 km². Wilayah ini memiliki salah satu tempat tujuan pariwisata di Indonesia yang terkenal hingga ke manca negara, terutama bagi penggemar olahraga selancar, apalagi kalau bukan Pantai Kuta. Selain itu, kawasan ini juga penuh dengan berbagai hotel berbintang, restoran, villa, mall, dan lain sebagainya. Maka tak heran jika Kuta seolah-olah selalu menjadi tempat wajib pertama yang harus dikunjungi oleh para pengunjung yang datang, sebelum melanjutkan explorasinya ke daerah lain di Provinsi Bali.

Sementara Kabupaten Badung sendiri dulunya bernama Nambangan sebelum diganti oleh I Gusti Ngurah Made Pemecutan pada akhir abad ke-18. Ibu kotanya berada di Mengwi, dahulu berada di Denpasar. Pada tahun 1999 sempat terjadi kerusuhan besar di mana Kantor Bupati Badung di Denpasar dibakar sampai rata dengan tanah. Selain dari literatur yang saya baca, informasi itu juga didapatkan dari salah satu Pejabat Pemda asli Bali, ketika saat itu saya tengah asyik bekerja memperbaiki salah satu server yang kerap di gunakan untuk pelayanan kepada penduduk. Dan menurut pengamatan saya selama di Bali, Kantor Pemerintahan Daerah Kabupaten Badung ini merupakan kantor pemerintahan daerah termegah. Mengingat jantung Pariwisata Bali tepat berada di kabupaten ini, rasanya wajar jika PAD dari Kabupaten Badung sendiri mampu dialokasikan untuk membangun sebuah bangunan megah.
Picture source : Google.com
Lanjut kepada cerita sebelumnya, ketika selesai makan dan bersantai sejenak di food court daerah sekitar Sanur, tiba-tiba kami ditawari Magic Mushroom dan Arak Bali oleh salah seorang pedagang yang ada di sana. Bukan maksud untuk bersikap munafik atau sok baik, meskipun pada saat itu saya masih terbilang bujangan, akan tetapi hal-hal seperti itu sudah tidak lagi membuat diri saya tertarik seperti halnya dulu. Karena terhitung dari tahun 2008 kalau tidak salah, saya sudah mulai berjanji kepada diri sendiri untuk tidak mengkonsumsi hal-hal seperti itu lagi. Tapi ini Bali kawan, people getting crazy in Bali, dan seperti dugaan saya sebelumnya, maka tak heran jika dua orang teman bekerja selama di Bali ini terpicu adrenalinnya dan tertarik untuk membeli Magic Mushroom dan Arak Bali untuk kemudian mengkonsumsinya detik itu juga. 

Sementara saya hanya tersenyum ketika mereka mengaku bahwa masing-masing dari mereka ternyata baru pertama kalinya mencicipi Mushroom dan Arak Bali, terlebih kita semua berada di Bali dengan kondisi yang lumayan siap secara finansial untuk menggila di Pulau Dewata ini, maka wajar jika pada akhirnya kedua teman ini mulai bereksperimen dalam kehidupannya. Saya hanya bisa menegaskan kepada mereka bahwa ini bukan pertama kalinya saya berada di Bali, dan meskipun penuh dengan keterbatasan, tapi paling tidak saya sudah pernah merasakan gila-gilaan di Bali semasa remaja dulu. Mendengar penjelasan seperti itu mereka mulai berhenti merayu saya untuk ikut-ikutan menggila. Terlebih ketika saat itu sebuah Mercedez Benz keren berplat nomor DK menjemput saya di food court tersebut, sehingga mereka pun akhinya berhenti berusaha mengajak gila dan sedikit percaya dengan apa yang saya ucapkan. 

Melihat suasana mulai Jaka Sembung bawa golok, karena tidak berada di frekuensi yang sama dengan kedua teman bekerja tersebut, pada akhirnya saya memilih untuk pergi bersama salah seorang sahabat asli Bali yang menjemput saya dengan mobil keren tersebut, setelah sebelumnya kami janjian untuk bertemu. Karena memang sahabat saya yang satu ini berasal dari keluarga terpandang di Bali, tak heran jika dia menjemput saya dengan kendaraan yang cukup membuat mata orang lain terbelalak jika melihatnya. Selain karena kebetulan sahabat saya ini sedang berada di kampung halamannya pada waktu itu, kami juga sudah cukup lama tidak bertemu.
Taking for some Ritual...

Dari Sanur kami berdua meluncur menuju Kawasan Kuta untuk sekedar bersantai ngobrol ngalor-ngidul, menikmati keindahan suasana Pantai Kuta di malam hari yang bisa dengan mudah kami nikmati dari balkon salah satu cafe legendaris di Bali. Cafe dimana setiap orang yang berkunjung ke Kuta selalu saja menyempatkan diri untuk berfoto di depan logo uniknya. Entah siapa yang duluan memulai, namun yang jelas berfoto di depan cafe dan hotel ini seolah-olah sudah menjadi tradisi serta justifikasi bahwa yang bersangkutan pernah berada di Kuta. Yup, malam itu kami berdua memutuskan untuk menghabiskan malam di Hard Rock Cafe yang terletak tepat di depan Pantai Kuta ini. Menikmati alunan musik bertemankan soft drink serta berbagai kudapan dan cemilan, cukup membuat obrolan kami terasa seru dan mengalir. Hingga tidak terasa malam pun semakin larut dan pada akhirnya kami berdua memutuskan untuk pulang dan beristirahat. Sebelum pulang saya pun melakukan ritual yang sama dengan kebanyakan orang, yaitu berfoto di depan cafe & hotel tersebut, karena saya juga belum pernah memiliki foto seperti itu...lol

Di keesokan harinya, hari Sabtu tepatnya, saya memutuskan untuk pergi ke Daerah Tabanan untuk mengunjungi salah satu pura unik yang bertengger di atas tebing. Dan seperti biasa cerita tentang pura unik ini akan saya bahas di artikel lainnya, karena tulisan kali ini lebih terfokus di sekitar kawasan Kuta. Sementara ketika malam telah tiba, saya pergi menuju Legian yang juga merupakan denyut nadi dari Kecamatan Kuta. Selain hanya sekedar untuk berjalan-jalan, kebetulan sekali saya juga memiliki teman yang berdomisili dan bekerja di kawasan Legian. Dan kami pun sepakat untuk bertemu di kawasan yang kerap menjadi pusat hingar bingar serta gemerlap kehidupan malam tersebut.

Setelah bertemu, kami berdua mulai menyusuri kawasan ini. Memasuki jalan ini, kita akan menemukan daerah modern Bali, karena konsep jalan ini lebih berorientasi ke dunia barat. Komplek pertokoan, hotel, hiruk-pikuknya kehidupan malam, dan Bom Bali identik dengan jalan Legian Bali saat ini. Monumen Bom Bali pun bisa dengan mudah kita temukan di jalan ini. Jika ditanya tentang kehidupan malam di Bali, tentu saja pikiran kita pasti akan berpikir tentang Legian. Kehidupan malam kawasan ini memang identik, tidak heran jika terdapat berbagai bar, pub, cafe dan diskotik yang selalu ramai pengunjung di waktu malam. Jalan ini adalah sebuah contoh nyata kehidupan malam di Bali yang tidak pernah terlepas dari gemerlapnya lampu disko dan gerakan erotis para penari. Sekilas memang hampir terlihat seperti kawasan Pattaya di Thailand, hanya saja masih dalam skala yang tidak begitu ekstrem kalau menurut saya.

Mengingat kawasan ini merupakan tempat berkumpulnya dimana orang di seantero dunia yang datang kesini hanya ingin berpesta, gila-gilaan dan menikmati kehidupan malam yang seakan bebas, maka saya tidak menyarankan bagi anda untuk berwisata keluarga ke kawasan ini. Karena sex, drugs, dan kegilaan lainnya bisa dengan mudah kita temui disini. Namun lain cerita jika hal ini dilihat dari kacamata para remaja yang memang masih dalam prosess pencarian jati diri atau berada dalam masa transisi dari masa remaja menuju dewasa, seolah-olah tempat ini menjadi tempat paling recommended dan bahkan sebagai surganya untuk berpesta dan menggila di sepanjang malam. Selain karena kita bisa dengan mudah menemukan beragam suku bangsa yang datang dari berbagai penjuru dunia disini, satu hal yang pasti bahwa mereka pun memiliki tujuan yang sama seperti anda yaitu menggila.

Selain wilayah Legian, wilayah Seminyak juga merupakan tujuan utama ketika malam telah tiba. Hanya saja biasanya kawasan ini lebih modern dan kalem. Di sini juga tempat kumpulnya mayoritas para ekspat. Fokusnya ada pada tempat ekslusif dengan DJ internasional yang memainkan musik techno, dubstep, dan trend musik terkini lainnya. Sajian minuman pun berkualitas tinggi, seringnya dibuat oleh para bartender paling terampil dengan bahan-bahan serba impor. Sementara Legian lebih cenderung menarik perhatian pengunjung yang bisa dikatakan young & wild, lengkap dengan klub-klub besar, minuman serba-murah, dan fokus musik biasanya di reggae, top 40, R&B, musik dansa, dan bahkan rock atau metal.
Keep on rockin' beybeh...

Sekitar satu jam berjalan kaki menyusuri Jalan Legian sambil mengenang kembali kegilaan yang juga pernah saya lakukan di tempat ini semasa kuliah dulu, membuat kami berdua cukup kehausan dan merasa lapar. Kami pun memutuskan untuk masuk ke dalam salah satu bar atau cafe yang berada disana, karena di usia yang sekarang ini terlalu ngeri rasanya bagi kami jika harus kembali masuk ke diskotik ataupun pub seperti layaknya masa remaja dulu. Alhasil sebuah bar sederhana menjadi pilihan hanya karena ketika kami melintas di depan bar tersebut, kami mendengar sajian live band yang dengan garangnya memainkan Enter Sandman milik Metallica. Tanpa berpikir panjang lagi saya pun masuk ke dalam bar tersebut. Dan benar saja tebakan saya, di dalam bar ini terdapat banyak pengunjung dari berbagai negara yang bisa dikategorikan sebagai para penikmat musik rock ketimbang pengunjung yang terbiasa mendengar suara jedag-jedug dari sound system diskotik. Suasana di bar ini memang terasa sedikit berbeda dengan tempat-tempat hiburan malam lainnya yang berada di Legian. 

Tempat ini terkesan lebih santai dan akrab, akan tetapi cukup gokil ketika beberapa pengunjung yang mulai panas dengan lagu-lagu yang dibawakan pada akhirnya ikut bernyanyi dan moshing bersama. Bahkan banyak diantara pengunjung yang akhirnya menjadi vokalis dadakan ataupun personil dadakan lainnya untuk ikut memainkan musik. Kami berdua pun cukup betah berlama-lama disana. Karena memang selain mayoritas pengunjungnya yang sedikit lebih dewasa, kegilaan yang kami temui disini juga tidak lebih hanya sekedar minuman alkohol, moshing bersama serta bernyanyi. Jarang rasanya melihat orang yang mengkonsumsi obat-obatan terlarang ataupun narkotika, betah berlama-lama menghabiskan waktu di bar ini. Rata-rata mereka hanya sekedar mampir, untuk kemudian beranjak pergi lagi karena merasa tidak berada dalam irama yang sama dengan mayoritas pengunjung yang ada disini. Lokasi stage nya yang unik, sajian makanan yang cukup nyaman di lidah juga dompet, serta suasananya yang friendly, membuat saya bisa merekomendasikan tempat ini bagi anda semua yang berkunjung ke Bali. Belakangan saya baru mengetahui bahwa nama bar tersebut adalah Espresso. Namun sekali lagi saya sarankan, apapun alasannya, menjadikan kawasan Legian sebagai destinasi wisata bersama keluarga di malam hari, terlebih membawa anak-anak, sangat tidak di anjurkan.

Seiring malam yang semakin larut, setelah cukup puas menikmati sajian live band di bar tersebut, kami pun akhirnya memutuskan untuk beranjak pulang guna bersitirahat. Di keesokan hari, saya sudah harus meninggalkan pulau yang daya magisnya selalu membuat orang di seantero bumi ini ingin menggapainya. 

Share on Google Plus

About Adang Sutrisna

An ordinary husband and father who was born at eastern small town of West Java. Working for the State Owned Company in Indonesia, loving outdoors activity and adventure addict. Part time wanderer with amateur experience, but full time dreamer with no limit to break the horizon as the destination...