Teluk Ambon, Ambon - Mollucas #Indonesia

Desember 1855 hingga Januari 1858, untuk kali pertama, Alfred Rusell Wallace, menginjakkan kakinya di tanah Ambon. Matanya menatap tajam ke tengah hamparan birunya air Teluk Ambon di pesisir Perairan Timur Indonesia. Desiran pasir yang terempas ombak laut, membuat benaknya yakin, bahwa wilayah yang kini berpenduduk sekitar 51.000 jiwa itu adalah salah satu "surga kecil" milik Nusantara.

Wallace adalah seorang Naturalis asal Inggris, yang mengusulkan ide tentang Garis Wallace, tentang pembagian flora dan fauna di Asia. Ia juga diyakini sebagai orang yang berperan penting bagi Charles Darwin untuk menerbitkan buku Origin of Species,  yang berisi proses seleksi alam yang memicu teori evolusi, karena suratnya kepada Darwin, "Surat dari Ternate". Dalam salah satu karyanya, The Malay Archipelago, Wallace pernah melukiskan, indahnya keanekaragaman flora bawah air Teluk Ambon. "Dasar laut benar-benar tersembunyi oleh serangkaian karang, karang, dan benda laut lain dengan berbagai dimensi yang megah, beragam bentuk, dan warna yang indah. Pemandangan yang bisa dilihat selama berjam jam  dan tidak ada kata-kata yang bisa menjelaskan indahnya pemandangan itu,".

Pernyataan Wallace bukan tanpa alasan. Karakteristik habitat yang kaya akan sumberdaya pesisir, produktifitas perairan yang bagus, membuat perairan Teluk Ambon sebagai salah satu lingkungan terkaya di dunia. Lihat saja, keragaman lamun, mangrove, dan tingginya koral menjadikan produksi ikan sangat tinggi dan beragam di perairan dengan luas sekitar 143,5 Km2 dan panjang 30 Km tersebut. Kontur geografis Pulau Ambon yang menyerupai huruf "U" pun semakin menambah estetika Teluk Ambon. Belum lagi dengan aneka fauna dan fauna. Walhasil, hal itulah, yang membuat Wallace berulang kali berkunjung dan sempat tinggal di Paso, sebuah daerah yang menghadap dua teluk indah di Barat dan Timur, yang menghubungkan dua daratan, Hila dan Ambonia.
Picture source : Google.com
Cerita ini berawal ketika saat itu saya ditugaskan oleh kantor tempat bekerja, untuk menghadiri sebuah pertemuan yang digelar oleh salah satu Perusahaan BUMN lainnya yang bergerak di bidang kelistrikan di Provinsi Maluku. Mengingat pertemuan ini cukup strategis, maka atasan saya pun ikut serta dalam perjalanan ini.

Siang itu sekitar pukul 13.00, pesawat kami take off dari Badara Soekarno-Hatta. Perjalanan menuju Maluku ini memakan waktu sekitar 2 jam perjalanan. Setiba di Bandara Pattimura Ambon, kami langsung menuju ke penginapan yang terletak di pusat Kota Ambon untuk bersitirahat. Hotel sederhana dengan harga yang cukup ramah menjadi pilihan, Everbright Hotel. Tak banyak kegiatan yang dilakukan pada malam kedatangan kami ini, selain hanya keluar untuk mencari makan malam serta menikmati keindahan Kota Ambon, kami juga menyempatkan diri untuk menikmati pemandangan senja salah satu Ikon Kota Ambon yaitu Jembatan Merah Putih.

Jembatan Merah Putih adalah Jembatan kabel pancang yang terletak di Kota Ambon, Provinsi Maluku, Indonesia. Jembatan ini membentangi Teluk Dalam Pulau Ambon, yang menghubungkan Desa Rumah Tiga (Poka) di Kecamatan Sirimau pada sisi utara, dan Desa Hative Kecil/Galala di Kecamatan Teluk Ambon pada sisi selatan. Jembatan ini merupakan jembatan terpanjang di Indonesia Timur, menjadi bagian dari keseluruhan tata ruang Kota Ambon. Jembatan tersebut efektif menyingkat waktu perjalanan hingga 30 menit. Jika dahulu dari Bandara Pattimura ke Kota Ambon harus menempuh 60 menit lebih dengan jarak 35 kilometer dengan memutari teluk, kini perjalanannya hanya membutuhkan sekitar 30 menit saja. Penamaan Jembatan Merah Putih sendiri diambil dari warna bendera nasional Indonesia, Merah Putih. Jadi, bisa dibilang, selain jadi ikon wisata, Jembatan Merah Putih menjadi simbol perdamaian dan kebersamaan warga Maluku.

Waktu terbaik untuk berkunjung ialah sore hari jelang matahari terbenam. Selain pemandangan senjanya yang mempesona, cuaca panas Ambon juga sudah berganti sejuk. Di malam hari, jembatan ini memancarkan warna-warni lampu yang cukup menawan, maka tak heran jika para wisatawan banyak berkunjung ke kawasan ini ketika hari sudah mulai beranjak gelap. Sama halnya seperti Jembatan Ampera, di sekitar jembatan ini juga banyak berdiri rumah makan yang menawarkan view terbaik untuk menikmati keindahan jembatan ini.

Puas dengan hidangan makan malam serta sajian kopi, seiring malam yang semakin larut, kami pun akhirnya memutuskan untuk beranjak pulang ke penginapan. Beristirahat, mempersiapkan segala sesuatunya untuk kebutuhan pekerjaan di esok hari...

Share on Google Plus

About Adang Sutrisna

An ordinary husband and father who was born at eastern small town of West Java. Working for the State Owned Company in Indonesia, loving outdoors activity and adventure addict. Part time wanderer with amateur experience, but full time dreamer with no limit to break the horizon as the destination...