Gangster Bandung

Picture source : Google.com
Matahari beranjak pergi seiring merekahnya lampu jalanan kala itu. Dari kejauhan, sepeda-sepeda motor menderu-deru. Jumlahnya belasan. Mereka jalan beriringan. Pedalnya dibuat meraung-raung, walau kecepatannya tak lebih kencang dari seorang ibu-ibu yang mengendarai motor. Samurai, jenis golok berukuran panjang yang biasa digunakan oleh kelompok Ninja di Jepang, dipamerkan oleh rekannya yang berada di jok belakang. Ujung runcingnya digesekkan ke jalanan hingga memercikan cahaya api. 

Saat menyaksikan pemandangan itulah, merupakan saat dimana jalanan Kota Bandung benar-benar tak ingin kita rindukan. Tahun 1990-an adalah masa-masa tak aman di jalanan Bandung. Geng motor, beranggotakan beberapa orang atau puluhan hingga ratusan, tak jarang membuat cemas para pengguna jalan, terutama di malam hari. Bermula dari kumpul-kumpul sesama pecinta motor, kemudian berubah jadi geng yang beranggotakan puluhan, ratusan, hingga ribuan orang. Di jalanan, mereka membentuk gaya hidup yang terkadang menyimpang dari kelaziman demi menancapkan identitas kelompok. Ngetrack, kebut-kebutan, dan tawuran adalah upaya dalam pencarian identitas tersebut. Tahun itu seolah menjadi titik klimaks aksi brutal mereka. Pertemuan antar geng kerap jadi saat yang paling rawan gesekan. Nyawa berguguran dan melahirkan dendam yang tak berujung.

Perlu dibedakan antara Geng Motor dengan Club Motor. Geng motor adalah kumpulan orang-orang pecinta motor yang hobi kebut-kebutan, tanpa membedakan jenis motor yang dikendarai. Sedangkan Club Motor biasanya mengusung merek tertentu atau spesifikasi jenis motor tertentu dengan perangkat organisasi yang formal. Setidaknya ada empat geng motor yang paling besar di Bandung yakni Moonraker, Grab on Road (GBR), Exalt to Coitus (XTC) dan Brigade Seven (Brigez). Keempat geng itu sama-sama eksis, memiliki anggota ribuan dan tersebar tidak hanya di wilayah Jawa Barat saja, akan tetapi meluas ke berbagai pelosok di Indonesia bahkan ke Mancanegara, sejalan dengan berubahnya status organisasi mereka menjadi Organisasi Masyarakat yang kini telah legal.


Official Logo
Moonraker (M2R)
Inilah konon ruh dari semua geng motor di Bandung. Moonraker lahir pada tahun 1978. Sel-sel komunitas ini, dirajut oleh tiga orang pemuda yang sama-sama hobi balap. Nama “Moonraker” diambil dari salah satu judul film James Bond yang kondang ketika itu. Awalnya mereka mengusung bendera berwarna Putih-Biru-Merah dengan gambar palu arit di tengahnya. Namun, karena Pemerintah Indonesia saat itu melarang ideologi tertentu yang identik komunisme (yang bersimbolkan palu arit), mereka lalu mengganti bendera kebanggaannya dengan warna Merah-Putih-Biru, bergambar serigala terbang. Kelompok ini konsisten dengan sistem keorganisasiannya. Setiap tahun ada penggantian kepengurusan dan membuat program-program kerja. Bisa dikatakan dari semua gangster yang ada di Bandung, Moonraker inilah yang jika dilihat dari struktur keorganisasiannya cukup professional. Menurut salah satu pentolan Moonraker, sejak awal kelompok ini berorientasi pada balapan. Konflik dengan Geng XTC (musuh terbesar Moonraker) pertama kali dipicu saat berlangsung kompetisi Road Race Piala Djarum Super tahun 90-an. Persoalannya sepele saja, hanya senggol-menyenggol di arena balapan, entah siapa yang memulai. Puncaknya, terjadi tawuran besar-besaran antara ke dua geng ini pada tahun 1999.

Buat anak-anak Bandung, nama Moonraker memang melegenda. Mereka selalu turun balapan antar life members atau klub lain saat lalu lintas sedang ramai-ramainya. Jalan sesak di Ir. Juanda atau Dago menjadi ajang adu adrenalin. Soal riding skill dan kenekatan mereka menjadi buah bibir semua pembalap liar dan mojang-mijang Bandung. Para ‘speed maniac’ di Moonraker menjadi seleb di jalanan. Jurus legendaris mereka bagai sudah terpaten. Manuver cepat dan beringas dari gaya mereka saat ada di jalanan, motor yang dikendarai seperti patah-patah dan bergerak cepat, itu adalah ciri khas dari organisasi ini. Tahun terus berganti, wajah Moonraker dari hanya klub jalanan berbasis massa besar, bergerak terus ke arah yang lebih serius. Baru tahun 1986, klub ini makin terkordinasi rapi dengan kepengurusan yang teratur, AD/ART. Lalu Moonraker merumuskan kepengurusan agar semakin profesional dengan mengadakan Kongres Moonraker pada 29 Agustus 2010.


Official Logo
Exalt To Coitus (XTC)
Pada awalnya XTC yang berarti Exalt To Coitus didirikan paramuda Bandung sebagai bentuk identitas kelompok yang menggemari dunia otomotif. Lambat laun organisasi non-formal ini mendapat apresiasi dari kalangan muda, utamanya remaja Sekolah Menengah Pertama dan Atas. Kelompok XTC dalam persepsi sebagian masyarakat dianggap gangster karena aktivitas jalanan berupa kebut-kebutan, balapan liar, bahkan tindak pidana ringan hingga berat berupa aksi massa yang mengakibatkan perkelahian massal dengan korban jiwa. Berdiri pada tahun 1982 oleh 7 orang pemuda Bandung. Belakangan nama itu diganti menjadi Exalt To Creativity dengan simbol kelompok berupa bendera berwarna paling atas Putih-Biru muda-Biru tua, tengahnya bergambar lebah yang secara harfiah oleh anggota kelompok XTC dimaknai sebagai solidaritas antar anggota, jauhnya, bila salah satu di antara mereka ada yang diserang, maka yang lainnya akan membela seperti halnya lebah.

Aktivitas komunal seperti XTC mengenal terminologi Panglima Perang (Koordinator Perang) atau Rampasan Perang sebagai bagian dari hierarki dan psikologi kelompoknya. Panglima Perang adalah orang yang ditunjuk berdasarkan musyawarah internal dan berkewajiban menjadi garda terdepan apabila terjadi bentrokan dengan kelompok otomotif atau gangster sejenis. Sedangkan Rampasan Perang dalam terminologi mereka adalah upaya untuk meningkatkan harga diri sebagai penguasa wilayah tertentu. Rampasan Perang dipandang mereka bukan aksi kriminal, kilahnya, Rampasan Perang yang rata-rata berupa kendaraan otomotif berupa motor mereka rampas dari rivalnya tidak untuk diperjualbelikan melainkan hanya dibakar dan sebagai penanda unjuk kekuatan kelompok. Cukup masuk akal, karena bisa dikatakan mayoritas anggota dari geng ini rata-rata berasal dari keluarga ekonomi menengah atas. Bahkan banyak diantaranya merupakan putra-putri dari TNI/Polri, maka tak heran jika banyak dari anggota geng ini memiliki senjata api.

Pertengahan 2003, XTC sempat membuat gempar Warga Bandung karena melakukan penyerangan paling fenomenal. Mereka menyerang kantor kepolisian Wilayah Kota Besar (Polwiltabes) Bandung. Semua anggotanya tumpah ruah mengepung kantor Polwiltabes. Mereka kecewa karena tidak diberi izin pada saat mau mengadakan bakti sosial, akibat ada kesalahpahaman antara poilsi dengan panitia. Polisi tak bisa berbuat banyak menghadapi ribuan massa yang memadati Jalan Merdeka sepanjang kurang lebih 3 Kilo Meter itu. Beberapa orang yang dituduh provokator ditahan di kantor Polwiltabes Bandung.


Brigade Seven (Brigez)
Official Logo

Brigez pada awalnya di bentuk dengan tujuan dan orientasi untuk mempertahan harga diri sekelompok pelajar asal SMA negeri 7 Bandung yang pada saat itu terlibat tawuran antar pelajar SMA di bandung. Sistem pengorganisasian kelompok ini cenderung tidak jelas. Tidak ada pengurus, hanya ada ketua yang bertugas mengkoordinir saja. Brigez identik dengan sikap anti birokrasi. Mereka menolak bersimbiosis dengan lembaga plat merah atau ormas bentukan kelompok politik tertentu. Mulai berdiri sekitar tahun 1986-1987 dimana diantara pencetusnya terdapat 4 orang yang tidak lain merupakan anggota dari Moonraker era tahun 1980. Brigez terkenal dengan anak motornya, yang hampir setiap minggu melakukan kumpul-kumpul bersama, baik di wilayah masing-masing ataupun melakukan kumpul bersama yang biasa di lakukan di tempat pertama kali nama Brigez muncul yaitu SMAN 7 Bandung.

Brigez mulai bergeliat dan mereka menyepakati untuk memakai bendera berwarna Biru-Kuning yang memiliki filosofi tersendiri. Warna Biru mencerminkan tali persaudaraan yang tidak terukur dengan apapun sedangkan Warna Kuning sendiri bermakna mewarnai dengan kata lain tali persaudaraan itu terbentuk semakin erat dikarenakan oleh karakteristik dari pada anggotanya yang berbeda-beda tetapi mempunyai tujuan yang sama yaitu menjadi Keluarga Besar Brigez. Sempat sekitar tahun 1997-an terjadi pergesekan di antara elit Brigez, hal itu mengakibatkan terjadinya perpecahan, dari perpecahan itu bermunculan beberapa nama dan Brigez sendiri terpecah menjadi 2 kelompok, ada yang tetap memakai bendera Biru-Kuning dan ada yang memakai bendera Merah-Putih-Hitam. Setelah beberapa tahun Brigez terpecah, sekitar tahun 2000-an, Brigez yang terpecah tersebut mulai merapatkan barisannya lagi untuk bersatu kembali menjadi Brigez sebagaimana era tahun 90-an harapkan. 

Dikarenakan semakin lama Brigez berdiri, ternyata anggotanya semakin banyak dan mulai merambah keluar Kota Bandung malah sampai keluar Propinsi. Oleh karena itu sekitar Awal Tahun 2010-an diadakanlah suatu Jambore Nasional yang dihadiri oleh para anggota dari segala penjuru. Acara Jambore Nasional yang diadakan di Pangandaran itu mempunyai visi dan misi yang sangat bagus, selain sebagai ajang temu kangen para anggota, merayakan hari jadi Brigez yang terbentuk tanggal 6 Januari, acara Jambore ini juga menghasilkan beberapa keputusan yang sangat penting sekali, salah satunya adalah membenahi struktur organisasi. Dari hasil Jambore tersebut mulailah dibentuk suatu kepengurusan untuk merealisasikan hasil-hasil yang dibahas di acara tersebut. Para pengurus pusat langsung membuat suatu Program Kerja, baik untuk tingkat Pusat maupun untuk Wilayah. Dari jambore itulah Brigez sebagai suatu organisasi mulai memiliki visi dan misi yang lebih jelas.


Grab On Road (GBR)
Official Logo

GBR adalah geng motor paling muda yang didirikan di Bandung pada sekitar februari 1989. Organisasi ini didirikan sebagai wadah menyatukan visi misi dan hoby para anggotanya. Geng ini dilahirkan di lingkungan SMPN 2 Bandung, meskipun begitu anggota GBR beragam. Bukan hanya siswa atau alumni sekoah itu saja, tapi kalangan umum lainnya. Walaupun terbilang paling muda dan anggotanya kebanyakan masih duduk di sekolah menengah, tapi aksi brutalnya relatif sama saja dengan geng lainnya. GBR menguasai sepanjang Jalan Sunda, Sumatera dan sekitarnya. Meski terlahir di Kota Bandung, namun pusat kegiatan yang menjadi basis pertahanannya adalah wilayah Cimahi dan Padalarang.

Kelompok ini mengidentifikasi diri dengan segala sesuatu berbau Jerman, paling tidak dengan kecenderungan warna benderanya yang berwarna Hitam-Merah-Kuning (urutan dari atas ke bawah). GBR merupakan geng yang paling lambat pertumbuhannya karena memang terdiri dari mayoritas anak-anak SMP yang kurang memiliki konsep penataan organisasi yang professional seperti geng lainnya. Salah satu anggota GBR mengatakan bahwa peran senior amat menentukan. Sekali saja ada anggota junior tidak kelihatan dalam suatu kumpulan wajib, si senior akan menghajar sesuka hatinya, tak peduli alasan apapun. Kekerasan seolah mewakili spirit mereka, mungkin juga mereka menganggap itu adalah pilihan.

Meskipun jumlah anggotanya terbilang paling sedikit diantara geng yang lainnya, namun slogan diantara anggota dimana para Grabber harus mampu menunjukan pada semua geng bahwa GBR adalah geng yang tidak pernah mundur dalam pertempuran, seolah melekat dalam diri setiap anggotanya. Seiring transformasi besar-besaran yang terjadi dalam tubuh organisasi seluruh gangster di Bandung, belakangan GBR pun berubah menjadi sebuah organisasi masayarakat atau LSM dengan nama Garda Bangsa Reformasi.
***

Namun semua ingatan tentang Bandung pada masa-masa itu telah lama berlalu. Tepat pada 30 Desember 2010, lebih dari 1500 orang hadir di Lapangan Tegalega. Sejak pukul 08.30 WIB, mereka hadir di Lapangan Tegalega. Empat geng motor itu sepakat membubarkan diri. Inilah tahun dimana keempat geng tersebut bertransformasi total menjadi Organisasi Masyarakat dan LSM yang diterima di masyarakat. Keempat pimpinan geng tersebut telah mendeklarasikan perdamaian, bahkan mereka dan banyak anggotanya telah melakukan transformasi hidup. Transformasi hidup yang mereka lakukan bukanlah mengubah hobi sehingga meninggalkan dunia motor dan jalanan. Justru perubahan mereka terjadi dalam masalah cara pandang dan gaya hidup.

Banyak dari mereka yang kini telah berhijrah. Kehidupan mereka yang awalnya jauh dari nilai-nilai positif, kini justru lebih dekat agama dan selalu melakuan berbagai aksi kebaikan. Lalu muncul istilah baru yang menjadi ciri khas dari kisah hijrah mereka dengan slogan “Dulu di jalanan, sekarang di pengajian, dulu tawuran sekarang kajian, dulu malak sekarang infaq, dulu ekstasi sekarang prestasi, dulu narkoba sekarang bekarya, dulu di penjara sekarang di musholla, dulu perusak sekarang penggerak”...

Share on Google Plus

About Adang Sutrisna

An ordinary husband and father who was born at eastern small town of West Java. Working for the State Owned Company in Indonesia, loving outdoors activity and adventure addict. Part time wanderer with amateur experience, but full time dreamer with no limit to break the horizon as the destination...